“Lika Liku Kehidupan Sosial”
Desa Kronjo
Desa Kronjo
Dualitas KKN (Pleasure dan Pressure)
Program KKN UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta merupakan sebuah program yang menjadi ritual setiap tahun dalam rangka
menegaskan status dan peran mahasiswa di sistem sosialnya. Semua bermula ketika
Juni, di mana wacana seputar regulasi kegiatan KKN 2017 muncul di lingkungan
UIN Jakarta. Beberapa hal seperti regulasi mengenai
ketentuan kelompok, jadwal-jadwal (survey lokasi dan pelaksanaan), isu-isu
mengenai turunnya dana dan kriteria penulisan (proposal dan laporan kegiatan)
mau tidak mau harus menjadi prioritas baru mahasiswa semester 6 paling tidak
sampai akhir bulan (Agustus) ini.
KKN,
dalam prosesnya dapat berarti sebagai pleasure
dan pressure dalam artian, di
satu sisi KKN merupakan tekanan kewajiban, sementara di sisi lain, KKN
diartikan sebagai sarana berlibur – kesenangan. Periode Juni - Agustus telah membelokkan rutinitas mahasiswa
semester 6 (liburan semester) menjadi aktifitas dalam membentuk kelompok KKN.
Begitupun dengan periode Maret-Mei, di mana mahasiswa bukan hanya disibukkan
dengan kegiatan akademik (KBM awal semester 6) dan kegiatan non akademik (UKM
dan Organisasi Ekstra misalnya), akan tetapi juga harus menambah fokus dan
prioritas mereka terkait dengan kegiatan KKN (Menyusun proposal dan meninjau
lokasi KKN). Periode Juni-Agustus menjadi klimaksnya, di mana mahasiswa harus
mempersiapkan segala sesuatu mulai dari finansial, fisik maupun psikisnya bagi
kegiatan KKN, padahal di sisi lain, banyak hal yang seharusnya juga menjadi
prioritas mahasiswa selain KKN. Kesemuanya itu merupakan aspek dari KKN yang
bersifat menekan – mewajibkan. Sementara itu, KKN seperti telah disebutkan juga
menjadi sarana atau wadah kesenangan. Artinya melalui KKN banyak fun learning yang bisa didapatkan atau
bahkan benar-benar yang hanya bersifat fun
semata.
Dualitas di dalam KKN itulah yang saya
rasakan dan berlaku bagi diri saya secara individual. Faktor pendorong yang
mungkin memotivasi saya dalam menjalani KKN tidak lain adalah hakikat dari KKN
itu sendiri. Yang terpenting bagi saya, esensi dari KKN ialah menegaskan status
dan peran kita sebagai mahasiswa dalam rangka menlaksanakan fungsi mahasiswa di
masyarakat. Selain itu, tanggung jawab moral juga memainkan peran penting yang
memotivasi diri untuk melaksanakan kegiatan KKN.
Adapun saya dan kawan-kawan KKN Rosa
Bamboosa melakukan tahapan pra-KKN. Hal tersebut merupakan tahapan rencana
kerja. Dalam penyusunan rencana kerja terdiri dari lima tahapan yang saling
berkaitan satu sama lain. Uraian secara ringkas dari masing-masing tahapan
adalah sebagai berikut:
1.
Diagnosa
masalah yang dinilai dengan kegiatan pengumpulan data situasi wilayah (sosial,
ekonomi, dan teknologi), kemudian dianalisa dan dinilai bagaimana situasi yang
seharusnya terjadi
2.
Formulasi
tujuan yang ingin dicapai dan dapat dicapai menurut alternatif masalah yang
dipilih
3.
Perkiraan
sumber daya fisik dan nonfisik yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut
4.
Perkiraan
target yang ditetapkan dengan melihat tujuan yang akan dicapai dan tersedianya
sumber daya yang menunjang
5.
Identifikasi
kendala-kendala yang diperkirakan timbul berdasarkan tujuan dan perkiraan
target yang ditetapkan
Konflik tak selamanya buruk
Dalam kelompok saya (Rosa Bamboosa),
pertama-tama dibagi menjadi beberapa divisi yang bertugas dalam setiap acara
atau program kerja selama satu bulan ke depan. Saya bersama dengan Agustiar
Hariri Lubis (FSH), Muhamad Ubaidillah (FDIK) sebagai divisi HUMAS. Tak lupa,
untuk menjadikan kegiatan KKN secara maksimal kami membentuk susunan kepanitian
perbidang. Saya, Devi Ila Oktaviani (FST), Agustiar Hariri Lubis (FSH), dan
Muhamad Zakiroy (FEB) sebagai bidang pendidikan. Selain divisi HUMAS dan bidang
pendidikan, terdapat divisi-divisi dan bidang-bidang lain yang biasa kita
temukan di dalam struktur OC (Organizing
Comitee) atau pelaksana di dalam sebuah acara atau kegiatan, yaitu divisi
acara, divisi publikasi, dekorasi dan dokumentasi, dan divisi konsumsi.
Sedangkan untuk perbidang diantaranya adalah bidang kesehatan, lingkungan,
keagamaan, ekonomi kreatif dan kepemudaan. Pembagian kerja tersebut menjadi
penting sesuai dengan ciri masyarakat modern (memiliki spesialisasi) agar
setiap elemen dalam sebuah sistem mampu fokus dan memaksimalkan fungsinya bagi
berjalannya sebuah sistem. Meskipun pada prakteknya, masing-masing divisi
seperti tidak konsisten dan seakan mengalami disfungsi bahkan non fungsi.
Struktur divisi KKN Rosa Bamboosa, pada suatu waktu tertentu dapat berwujud
sebagai struktur bayangan. Artinya, setiap individu bekerja tidak pada fungsi
aslinya – bekerja sesuai kebutuhan sistem. Hal itu tidak menjadi masalah selama
sistem dapat terus berjalan.
Selanjutnya, KKN Rosa Bamboosa, di
samping memiliki struktur tetap di atas, juga membentuk struktur baru di dalam
masing-masing program kerjanya. Dalam kesemua program yang telah direalisasikan
KKN Rosa Bamboosa, tercatat saya telah dipercaya untuk menjadi juru bicara
publikasi rencana program, moderator dalam Pelatihan Kewirausahaan, Narasumber
Urgensi Pendidikan mengenai pengenalan dunia kampus, penanggung jawab program
mengajar dan mengabdi di SDN 1 & 2 Kronjo, dan juga beberapa kali saya
dipercaya oleh Teman-teman untuk menjadi humas, baik itu melakukan koordinasi
program dengan perangkat desa maupun silaturahmi dengan warga dalam rangka
meningkatan kedekatan emosional dengan warga.
Terakhir, KKN Rosa Bamboosa juga
membentuk pengurus untuk piket harian. Terdiri dari empat anggota (dua
laki-laki dan dua perempuan) yang bertugas untuk mengurus rumah tangga. Ini hal
menarik yang saya kira menjadi akar masalah atau segala kendala selama satu
bulan lebih masa pengabdian di lokasi. Yang saya persoalkan bukan kepada
pembagian jadawal piket tersebut, karena itu merupakan hal yang positif (baik).
Tetapi menyangkut masalah tempat tinggal yang harus diurusi. KKN Rosa Bamboosa
memiliki dua hunian, keduanya berada di dekat pelelangan ikan yakni kampung
pekapuran.
Pelaksanaan KKN Rosa Bamboosa di desa
Kronjo, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang selama perjalanannya menuai
kontroversi konflik. Saya mengklasifikasikan konflik tersebut menjadi dua
bagian, yakni konflik internal (sesama anggota KKN Rosa Bamboosa), dan konflik
eksternal (anggota kelompok dengan elemen warga desa Kronjo). Persis seperti
apa yang dikatakan oleh Lewis Coser bahwa konflik merupakan bagian kehidupan
sosial yang tidak bisa ditawar. Hal tersebut sangat relevan selama mengacu pada
lika-liku kisah kehidupan KKN.
Konflik eksternal yang kami hadapi
secara khusus adalah masalah bersumber pada dua hunian di perumahan yang berada
di Desa Kronjo. Hal ini dikarenakan bahwa lokasi hunian tersebut menjadi
penyebab lunturnya komitmen masing-masing anggota. Masalah teknis (jarak tempuh
antara sekretariat yang menjadi pusat kegiatan KKN Rosa Bamboosa dengan lokasi
kegiatan program kerja di wilayah Kronjo adalah jauh) menjadi beberapa penyebab
konflik internal KKN Rosa Bamboosa. Keterlambatan kegiatan program kerja dan
briefing serta evaluasi tiap acara lazim dijumpai dalam KKN Rosa Bamboosa yang
berdampak pada keterlambatan pelaksanaan tiap acara (acara banyak diadakan di
lingkungan Balai Desa Kronjo, dan salah satu tempat tinggal warga desa). Hal
ini diperparah dengan renggangnya intensitas interaksi atau lemahnya kedekatan
emosional antara warga dengan anggota KKN Rosa Bamboosa yang tidak lain juga
disebabkan oleh dua hunian tersebut. Bagaimana tidak, KKN pada dasarnya
mengharuskan kami 24 jam penuh menjalin interaksi dengan warga, tetapi yang
terjadi pada kelompok kami justru interaksi seadanya dengan warga (kami datang
ketika kami butuh warga).
Namun demikian, badai pasti berlalu.
Ada inisiatif dari beberapa anggota KKN Rosa Bamboosa untuk membentuk tim konsolidasi
termasuk saya, Asyiq, Hariri dan Ubaidillah untuk lebih lama menghabiskan waktu
di sekretariat KKN, Balai Desa, Rumah Sekdes, beberapa rumah tokoh masyarakat,
dan berkunjung ke rumah warga yang sedang ada pengajian, tahlil dan acara nujuh
bulanan. Hasilnya? Konsep stranger (orang
asing) yang mungkin ada dalam pikiran subjektif masing-masing warga luntur, trust masyarakat pun perlahan meningkat
terhadap anggota KKN Rosa Bamboosa dan tentu saja solidaritas yang erat
terbangun secara otomatis semuanya itu menumbuhkan kedekatan emosional yang
berkualitas antara masyarakat dengan anggota KKN Rosa Bamboosa. Hal itu
dibuktikan dengan partisipasi dan bantuan yang selalu diberikan warga kepada
sekretariat khususnya dan kepada KKN Rosa Bamboosa umumnya. Saya mengucapkan
terimakasih banyak kepada mereka secara khusus kepada semua anggota kelompok
yang ikhlas menjalin interaksi demi terwujudnya integritas yang kuat dengan
warga. Ungkapan terimakasih tentu saja juga saya berikan kepada masyarakat yang
telah memberikan segala bentuk kontribusi demi terealisasinya setiap program
kerja kami dan secara khusus terimakasih kepada para pemuda yang sejatinya
merupakan (peer group) bagi kami.
Selain itu, persoalan yang dihadapi
dalam kondisi internal juga mengenai miss komunikasi antar anggota
akibatnya selisih paham dan salah paham terjadi. Hal tersebut sangat
berimplikasi pada kinerja antar anggota kelompok maupun pelaksanaan program
kerjanya. Tidak hanya demikian, kami juga menggapnya tidak hanya selesainya KKN
lantas semua tugas dan kewajiban kita selesai. Namun, pasca KKN kita harus
tetap bersatu untuk menjalankan tugas dan kewajiban. Jadi kami pikir tak perlu
berlarut-larut dalam konflik. Akhirnya persoalan internal dapat dilalui dengan
khidmat mengingat keberlangsungan KKN harus tetap terlaksana. Karena bagi saya,
tidak ada salahnya jika kita saling memaafkan dan saling melepaskan ego kita
masing-masing.
Dalam kehidupan sosial selama KKN tentu
tak dapat kita hindari dari apa yang disebut konflik. Mulai dari konflik yang
menjamur dikalangan anggota kelompok dan juga dikalangan warga. Tapi itu bukan
masalah besar bagi kami, nyatanya kami mampu melewati semuanya. Seperti dalam
teori Coser yang memandang bahwa konflik bisa memberi keuntungan pada
masyarakat luas tempat konflik itu terjadi dan konflik justru bisa membuka
peluang integrasi antar kelompok. Jadi, tak masalah bila konflik itu terjadi
karena bagi saya, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang
yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan
ketimbang rasa permusuhan. Itulah yang kami rasakan selama KKN, bila konflik
dalam kelompok tidak ada berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok dengan
masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil in-group merupakan indikator
adanya suatu hubungan yang sehat. Terima kasih Lewis Coser telah mengajarkan
kami arti konflik yang sebenarnya.
Saya kira inilah narasi penting yang
dapat saya deskripsikan terkait dengan apa yang kita lakukan selama masa
pengabdian di lokasi. Karena secara detail mengenai program-program kerja sudah
memiliki tempatnya sendiri untuk dijelaskan.
Kompleksitas,
Potensi Modal Sosial dan Kearifan Lokal
Ada
beberapa hal yang saya petik selama satu bulan kegiatan KKN di desa Kronjo,
Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang. Pertama, jika dalam desa saja melekat
dua ontologi (statika dan dinamika), maka masyarakatnya dapat dipastikan
mengalami suatu dinamisasi. Seperti apa kata Selo Soemardjan, bahwa masyarakat memiliki ontologinya, yakni
sebagai dinamika. Karena jelas bahwa perubahan adalah niscaya bagi masyarakat.
Seiring dengan meningkatnya populasi penduduk, maka meningkat pula apa yang
disebut Durkheim sebagai kepadatan moral. Kepadatan moral masyarakat modern
telah menciptakan suatu tatanan moral baru yang mestinya berbeda dengan tatanan
moral lama kelompok masyarakat. yang menjadi pertanyaan adalah apakah tatanan
moral lama benar-benar runtuh seutuhnya, ataukah tetap masih ada dan tidak
sepenuhnya ditinggalkan oleh masyarakatnya?
Apa yang saya lihat di lapangan
(selama satu bulan lebih dalam kegiatan KKN) menyadarkan saya akan sifat
keterbukaan sebuah teori. Bagaimana tidak, misalnya seperti apa yang dikatakan
Durkheim bentuk solidaritas mekanis yang akan berubah menjadi solidaritas
organis seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk menuai banyak kritik. Satu
yang saya cermati, kondisi sosial ekonomi masyarakat desa Kronjo, kecamatan
Kronjo, kabupaten Tangerang seakan kurang pas dengan dikotomi bentuk ikatan
sosial yang ditawarkan Durkheim tersebut.
Jelas
bahwa apa yang dimaksud Durkheim dengan solidaritas mekanis mengarah kepada
bentuk masyarakat paling primitif sementara solidaritas organis merupakan
bentuk masyarakat paling modern seperti yang digambarkan Durkheim dengan
ciri-ciri perbedaan di antara keduanya. Masyarakat dengan solidaritas mekanis
menurut Durkheim bersifat homogen, kesadaran kolektif tinggi yang mana mereka
dipersatukan oleh keseragaman. Sementara masyarakat dengan solidaritas organis
bersifat heterogen ditandai dengan tingkat kesadaran kolektif yang rendah di
mana terjadi spesialisasi yang begitu beragam sehingga masyarakat modern
dipersatukan dengan keberagaman.
Dengan
argumentasi demikian, maka teori tersebut kurang tepat diterapkan di dalam
fenomena desa – kota di Indonesia, secara khusus dalam konteks ini. Kesadaran
kolektif masyarakat Kronjo terbilang cukup tinggi. Ini berkenaan dengan
misalnyaproses menjaga komitmen moral bersama. Hal itu terepresentasikan secara
kolektif misalnya pada pelaksanakan ritual-ritual keagamaan (nujuh bulanan,
pengajian dan tahlilan misalnya) yang senantiasa melengkapi kegiatan kelompok
KKN kami selama satu bulan di sana. Kemudian spesialisasi pekerjaan masyarakat
juga tidak dapat dikatakan beragam. Faktanya, mayoritas masyarakat
bermatapencaharian sebagai nelayan dan hanya sebagian kecil saja masyarakat
yang bekerja di pabrik serta berdagang (warung sembako).
Kemudian,
apa yang disebut Durkheim sebagai pemujaan individu – individualisme moral juga
tidak layak diberikan bagi masyarakat desa Kronjo. Faktanya, hampir setiap hari
sekretariat kelompok KKN kami kedapatan makanan dan minuman pemberian
masyarakat sekitar. Ini menandakan bahwa masyarakat ingin mengintegrasikan
dirinya dengan kami. Dengan kata lain, menjaga komitmen moral bersama.
Di sinilah letak masalahnya. Apa
yang ingin saya sampaikan ialah bahwa dinamika masyarakat memiliki
kompleksitasnya tersendiri. Seperti apa yang terjadi di desa-desa di Indonesia
pada umumnya, mereka tidak bisa dikatakan memiliki bentuk solidaritas organis
saja atau solidaritas mekanis saja. Pada masyarakat desa Kronjo, jika fakta
yang dipaparkan adalah demikian, maka hal itu bukankah berarti bahwa masyarakat
desa Kronjo tidak mengalami proses perubahan? Benarkah Ia mengalami ciri dari
involusi – kemandekan evolusi seperti yang diutarakan oleh Darmawan Salman?
Dalam hemat saya, tentu tidak demikian. Sekali lagi ditekankan bahwa ini
disebabkan oleh desa yang dilihat dari dimensi ontologi sebagai dinamika memang
merupakan sebuah realitas kompleks. Kompleksitas desa menjadikan eksistensi
desa kian diperkuat. Lagipula, dikotomi bentuk solidaritas yang ditawarkan
Durkheim nampaknya kurang tepat dilekatkan kepada fenomena desa-kota di
Indonesia. Dan secara keseluruhan, dua bentuk solidaritas yang dimaksud
Durkheim nyatanya tidak bisa diterapkan begitu saja ke dalam masyarakat
Indonesia.
Hal kedua yang saya dapat ambil
pelajaran darinya adalah betapa tingkat kepercayaan (trust) yang dimiliki
masyarakat desa Kronjo sangat kuat. Jika mengacu kepada teori modal sosial dari
Fukuyama yang mana indikatornya adalah kepercayaan,jaringan dan norma-norma,
maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat desa Kronjo memiliki potensi modal sosial
yang kuat. Meskipun hal itu baru terlihat ketika kita sudah mengenal lebih
dalam dan jauh masyarakatnya secara personal ataupun kolektifitas. Karena dari
apa yang saya alami saat itu, tingkat kecurigaan masyarakat begitu kuat
terhadap kami ketika minggu pertama kami di sana. Ini wajar mengingat trust
yang belum terbangun, sehingga jaringan apalagi norma di antara kita belum
terbentuk.
Namun
demikian, seiring berjalannya waktu, konsep stranger
(orang asing) yang dilekatkan oleh masyarakat kepada kami luntur seirama
dengan intensitas interaksi yang kami galakkan. Interaksi yang terbangun secara
otomatis membangun potensi modal sosial yakni trust, network dan norms. Yang
saya maksud di sini ialah modal sosial bersama antara masyarakat desa Kronjo
dengan kelompok KKN Rosa Bamboosa 2017 UIN Jakarta.
Terakhir, saya dapat mengambil
pelajaran bahwa bentuk kearifan lokal (local wisdom) suatu lokalitas
tertentu merupakan hal yang positif. Dalam konteks ini, yakni masyarakat desa
Kronjo, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tanggerang memiliki kearifan lokal yang
saya kira bernilai positif. Sebagai contoh, ketika bagian konsumsi pada salah
satu program kami hendak menambahkan panganan kepada warga yang hadir, maka hal
itu dicegah oleh pemilik rumah yang kediamannya saat itu dijadikan tempat
berlangsungnya program. Ibu Sekdes (pemilik rumah) mengatakan bahwa jangan
memaksakan diri. Yang dimaksud di sini adalah apa yang kita berikan harus
sesuai dengan kemampuan kita, dan jangan memaksakan diri untuk memberi lebih.
Memang, ketika anggaran konsumsi suatu program sudah ditetapkan, tetapi hal-hal
tidak terduga bisa saja terjadi seperti konsumsi tidak mencukupi ketika warga
yang hadir tidak sesuai perkiraan.
Apa yang diyakini bu Sekdes dan
masyarakat lainnya terkait jangan memaksakan diri sangat berarti bagi kami.
Kami menjadi sadar bahwa segala sesuatu yang dipaksakan akan memiliki dampak
buruk. Sekalipun kami harus mengorbankan rasa tidak enak kepada warga karena
kurangnya konsumsi, tetapi dengan mengetahui masyarakat memiliki kearifan lokal
tersebut menjadikan rasa itu hilang. Intinya ialah saya inginmengatakan bahwa
dibalik kalimat “jangan memaksakan diri” mengandung pesan moral yang amat dalam
dan tentunya bernilai positif di mata kita semua.
Hal lain yang tidak lupa dapat saya
tuturkan adalah bahwa eksistensi manusia memang tidak bisa dilepaskan dari
hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial dicirikan dengan tidak
sanggupnya ia memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya sendiri, manusia senantiasa
membutuhkan manusia lainnya. Karena itulah dorongan interaksi akan menjadi
lebih kuat ketimbang dengan hambatan berinteraksi. Kembali kepada apa yang saya
sampaikan di atas, pada akhirnya konsep stranger yang mungkin dilekatkan
kepada kelompok KKN Rosa Bamboosa 2017 UIN Jakarta oleh masyarakat sekitar
dapat terhapus, dan masyarakat akhirnya memutuskan untuk mengintegrasikan
dirinya dengan kami.
Demikianlah bagaimana kompleksitas
masyarakat, modal sosial yang kuat dan bentuk kearifan lokal bernilai positif
yang dimilki masyarakat desa Kronjo, kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang
sangat membantu kami dalam pelaksanaan program-program selama satu bulan di
sana. Akhirnya, Saya secara khusus mengucapkan terimakasih kepada seluruh
elemen dalam setiap sistem sosial yang merupakan bagian dari masyarakat desa
Kronjo, kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang.
Best
Wishes For Kronjo
Kadang
kami fokus pada program kerja tetapi kami tidak mengetahui isi hati kami
masing-masing yang telah berjuang dalam program ini. Kalau dikatakan bahwa kami
lugu, mungkin tidak juga, karena kami adalah mahasiswa yang ditempat mereka
dipandang sebagai orang dewasa, yang cukup makan garam dalam berbagai
pengalaman dan keilmuan. Mungkin keikhlasan, ketaatan, ketekunan dan kesabaran
adalah kata yang tepat, yang merupakan penghargaan yang diberikan oleh
masyarakat kepada kami karena penuh ketulusan kami telah melakukan setiap
program di desa mereka.
Mereka tidak
pernah mengeluh, mereka susah mengatakan “tidak”, bahkan jawaban mereka selalu
“ya” dan “siap” dalam keterlibatan mereka atas program yang kami galakan. Namun
dibalik itu semua tersimpan banyak harapan-harapan untuk kemajuan Desa Kronjo
terutama program yang sudah ada di desa Kronjo. Karena mungkin di lubuk hati
kami yang paling dalam adalah kami mengharapkan setiap program yang ada di desa
mereka bukan hanya sekedar program saja, tetapi bisa sukses dan membawa manfaat
yang besar bagi desa mereka. Mungkin harapan-harapan kamijuga tidak lebih dari
sebuah kalimat, mungkin juga tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, namun
mungkin terbesit sejuta harapan untuk desa Kronjo tercinta, yakni desa yang
maju dalam banyak hal bahkan desa yang sejahtera masyarakatnya.
Pulau Cangkir merupakan daerah
tempat wisata ziarah yang berada di Desa Kronjo. Hal tersebut menjadi peluang
terbesar bagi kemajuan Desa Kronjo. Dengan demikian harapan kami bahwa
kementrian pariwisata yang ada di kabinet kerja sekarang hendaknya
memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Kemajuan pariwisata harus diimbangi
dengan kemajuan perekonomian masyarakat. Pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah
sebagai tolak ukur keberhasilan pariwisata Indonesia secara umum dan bagi Desa
Kronjo secara khusus. Jadi perlunya pembangunan peningkatan pariwisatadengan berbasis
masyarakat. Strategi terbaik untuk mengembangkan desa Kronjo dengan
meningkatkan partisipasi masyarakat adalah dengan cara meningkatkan kemajuan
Desa Wisata. Selain itu, lingkungan Desa Kronjo masih jauh dari kata INDAH.
Setelah melalui berbagai penyuluhan kesadaran lingkungan dan juga pemberian
tempat sampah bagi lingkungan Desa Kronjo maka kami berharap agar tingkat
kesadaran kepedulian masyarakat kepada lingkungan semakin tinggi sehingga dapat
terwujudnya DKI (Desa Kronjo Indah).
No comments:
Post a Comment