Friday, August 3, 2018

Ulasan KKN Desa Kronjo




“Lika Liku Kehidupan Sosial”
Desa Kronjo 
Dualitas KKN (Pleasure dan Pressure)
Program KKN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan sebuah program yang menjadi ritual setiap tahun dalam rangka menegaskan status dan peran mahasiswa di sistem sosialnya. Semua bermula ketika Juni, di mana wacana seputar regulasi kegiatan KKN 2017 muncul di lingkungan UIN Jakarta. Beberapa hal seperti regulasi mengenai ketentuan kelompok, jadwal-jadwal (survey lokasi dan pelaksanaan), isu-isu mengenai turunnya dana dan kriteria penulisan (proposal dan laporan kegiatan) mau tidak mau harus menjadi prioritas baru mahasiswa semester 6 paling tidak sampai akhir bulan (Agustus) ini.
            KKN, dalam prosesnya dapat berarti sebagai pleasure dan pressure dalam artian, di satu sisi KKN merupakan tekanan kewajiban, sementara di sisi lain, KKN diartikan sebagai sarana berlibur – kesenangan. Periode Juni - Agustus telah membelokkan rutinitas mahasiswa semester 6 (liburan semester) menjadi aktifitas dalam membentuk kelompok KKN. Begitupun dengan periode Maret-Mei, di mana mahasiswa bukan hanya disibukkan dengan kegiatan akademik (KBM awal semester 6) dan kegiatan non akademik (UKM dan Organisasi Ekstra misalnya), akan tetapi juga harus menambah fokus dan prioritas mereka terkait dengan kegiatan KKN (Menyusun proposal dan meninjau lokasi KKN). Periode Juni-Agustus menjadi klimaksnya, di mana mahasiswa harus mempersiapkan segala sesuatu mulai dari finansial, fisik maupun psikisnya bagi kegiatan KKN, padahal di sisi lain, banyak hal yang seharusnya juga menjadi prioritas mahasiswa selain KKN. Kesemuanya itu merupakan aspek dari KKN yang bersifat menekan – mewajibkan. Sementara itu, KKN seperti telah disebutkan juga menjadi sarana atau wadah kesenangan. Artinya melalui KKN banyak fun learning yang bisa didapatkan atau bahkan benar-benar yang hanya bersifat fun semata.
Dualitas di dalam KKN itulah yang saya rasakan dan berlaku bagi diri saya secara individual. Faktor pendorong yang mungkin memotivasi saya dalam menjalani KKN tidak lain adalah hakikat dari KKN itu sendiri. Yang terpenting bagi saya, esensi dari KKN ialah menegaskan status dan peran kita sebagai mahasiswa dalam rangka menlaksanakan fungsi mahasiswa di masyarakat. Selain itu, tanggung jawab moral juga memainkan peran penting yang memotivasi diri untuk melaksanakan kegiatan KKN.
Adapun saya dan kawan-kawan KKN Rosa Bamboosa melakukan tahapan pra-KKN. Hal tersebut merupakan tahapan rencana kerja. Dalam penyusunan rencana kerja terdiri dari lima tahapan yang saling berkaitan satu sama lain. Uraian secara ringkas dari masing-masing tahapan adalah sebagai berikut:
1.      Diagnosa masalah yang dinilai dengan kegiatan pengumpulan data situasi wilayah (sosial, ekonomi, dan teknologi), kemudian dianalisa dan dinilai bagaimana situasi yang seharusnya terjadi
2.      Formulasi tujuan yang ingin dicapai dan dapat dicapai menurut alternatif masalah yang dipilih
3.      Perkiraan sumber daya fisik dan nonfisik yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut
4.      Perkiraan target yang ditetapkan dengan melihat tujuan yang akan dicapai dan tersedianya sumber daya yang menunjang
5.      Identifikasi kendala-kendala yang diperkirakan timbul berdasarkan tujuan dan perkiraan target yang ditetapkan
Konflik tak selamanya buruk
Dalam kelompok saya (Rosa Bamboosa), pertama-tama dibagi menjadi beberapa divisi yang bertugas dalam setiap acara atau program kerja selama satu bulan ke depan. Saya bersama dengan Agustiar Hariri Lubis (FSH), Muhamad Ubaidillah (FDIK) sebagai divisi HUMAS. Tak lupa, untuk menjadikan kegiatan KKN secara maksimal kami membentuk susunan kepanitian perbidang. Saya, Devi Ila Oktaviani (FST), Agustiar Hariri Lubis (FSH), dan Muhamad Zakiroy (FEB) sebagai bidang pendidikan. Selain divisi HUMAS dan bidang pendidikan, terdapat divisi-divisi dan bidang-bidang lain yang biasa kita temukan di dalam struktur OC (Organizing Comitee) atau pelaksana di dalam sebuah acara atau kegiatan, yaitu divisi acara, divisi publikasi, dekorasi dan dokumentasi, dan divisi konsumsi. Sedangkan untuk perbidang diantaranya adalah bidang kesehatan, lingkungan, keagamaan, ekonomi kreatif dan kepemudaan. Pembagian kerja tersebut menjadi penting sesuai dengan ciri masyarakat modern (memiliki spesialisasi) agar setiap elemen dalam sebuah sistem mampu fokus dan memaksimalkan fungsinya bagi berjalannya sebuah sistem. Meskipun pada prakteknya, masing-masing divisi seperti tidak konsisten dan seakan mengalami disfungsi bahkan non fungsi. Struktur divisi KKN Rosa Bamboosa, pada suatu waktu tertentu dapat berwujud sebagai struktur bayangan. Artinya, setiap individu bekerja tidak pada fungsi aslinya – bekerja sesuai kebutuhan sistem. Hal itu tidak menjadi masalah selama sistem dapat terus berjalan.
Selanjutnya, KKN Rosa Bamboosa, di samping memiliki struktur tetap di atas, juga membentuk struktur baru di dalam masing-masing program kerjanya. Dalam kesemua program yang telah direalisasikan KKN Rosa Bamboosa, tercatat saya telah dipercaya untuk menjadi juru bicara publikasi rencana program, moderator dalam Pelatihan Kewirausahaan, Narasumber Urgensi Pendidikan mengenai pengenalan dunia kampus, penanggung jawab program mengajar dan mengabdi di SDN 1 & 2 Kronjo, dan juga beberapa kali saya dipercaya oleh Teman-teman untuk menjadi humas, baik itu melakukan koordinasi program dengan perangkat desa maupun silaturahmi dengan warga dalam rangka meningkatan kedekatan emosional dengan warga.
Terakhir, KKN Rosa Bamboosa juga membentuk pengurus untuk piket harian. Terdiri dari empat anggota (dua laki-laki dan dua perempuan) yang bertugas untuk mengurus rumah tangga. Ini hal menarik yang saya kira menjadi akar masalah atau segala kendala selama satu bulan lebih masa pengabdian di lokasi. Yang saya persoalkan bukan kepada pembagian jadawal piket tersebut, karena itu merupakan hal yang positif (baik). Tetapi menyangkut masalah tempat tinggal yang harus diurusi. KKN Rosa Bamboosa memiliki dua hunian, keduanya berada di dekat pelelangan ikan yakni kampung pekapuran.
Pelaksanaan KKN Rosa Bamboosa di desa Kronjo, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang selama perjalanannya menuai kontroversi konflik. Saya mengklasifikasikan konflik tersebut menjadi dua bagian, yakni konflik internal (sesama anggota KKN Rosa Bamboosa), dan konflik eksternal (anggota kelompok dengan elemen warga desa Kronjo). Persis seperti apa yang dikatakan oleh Lewis Coser bahwa konflik merupakan bagian kehidupan sosial yang tidak bisa ditawar. Hal tersebut sangat relevan selama mengacu pada lika-liku kisah kehidupan KKN.
Konflik eksternal yang kami hadapi secara khusus adalah masalah bersumber pada dua hunian di perumahan yang berada di Desa Kronjo. Hal ini dikarenakan bahwa lokasi hunian tersebut menjadi penyebab lunturnya komitmen masing-masing anggota. Masalah teknis (jarak tempuh antara sekretariat yang menjadi pusat kegiatan KKN Rosa Bamboosa dengan lokasi kegiatan program kerja di wilayah Kronjo adalah jauh) menjadi beberapa penyebab konflik internal KKN Rosa Bamboosa. Keterlambatan kegiatan program kerja dan briefing serta evaluasi tiap acara lazim dijumpai dalam KKN Rosa Bamboosa yang berdampak pada keterlambatan pelaksanaan tiap acara (acara banyak diadakan di lingkungan Balai Desa Kronjo, dan salah satu tempat tinggal warga desa). Hal ini diperparah dengan renggangnya intensitas interaksi atau lemahnya kedekatan emosional antara warga dengan anggota KKN Rosa Bamboosa yang tidak lain juga disebabkan oleh dua hunian tersebut. Bagaimana tidak, KKN pada dasarnya mengharuskan kami 24 jam penuh menjalin interaksi dengan warga, tetapi yang terjadi pada kelompok kami justru interaksi seadanya dengan warga (kami datang ketika kami butuh warga). 
Namun demikian, badai pasti berlalu. Ada inisiatif dari beberapa anggota KKN Rosa Bamboosa untuk membentuk tim konsolidasi termasuk saya, Asyiq, Hariri dan Ubaidillah untuk lebih lama menghabiskan waktu di sekretariat KKN, Balai Desa, Rumah Sekdes, beberapa rumah tokoh masyarakat, dan berkunjung ke rumah warga yang sedang ada pengajian, tahlil dan acara nujuh bulanan. Hasilnya? Konsep stranger (orang asing) yang mungkin ada dalam pikiran subjektif masing-masing warga luntur, trust masyarakat pun perlahan meningkat terhadap anggota KKN Rosa Bamboosa dan tentu saja solidaritas yang erat terbangun secara otomatis semuanya itu menumbuhkan kedekatan emosional yang berkualitas antara masyarakat dengan anggota KKN Rosa Bamboosa. Hal itu dibuktikan dengan partisipasi dan bantuan yang selalu diberikan warga kepada sekretariat khususnya dan kepada KKN Rosa Bamboosa umumnya. Saya mengucapkan terimakasih banyak kepada mereka secara khusus kepada semua anggota kelompok yang ikhlas menjalin interaksi demi terwujudnya integritas yang kuat dengan warga. Ungkapan terimakasih tentu saja juga saya berikan kepada masyarakat yang telah memberikan segala bentuk kontribusi demi terealisasinya setiap program kerja kami dan secara khusus terimakasih kepada para pemuda yang sejatinya merupakan (peer group) bagi kami.
Selain itu, persoalan yang dihadapi dalam kondisi internal juga mengenai miss komunikasi antar anggota akibatnya selisih paham dan salah paham terjadi. Hal tersebut sangat berimplikasi pada kinerja antar anggota kelompok maupun pelaksanaan program kerjanya. Tidak hanya demikian, kami juga menggapnya tidak hanya selesainya KKN lantas semua tugas dan kewajiban kita selesai. Namun, pasca KKN kita harus tetap bersatu untuk menjalankan tugas dan kewajiban. Jadi kami pikir tak perlu berlarut-larut dalam konflik. Akhirnya persoalan internal dapat dilalui dengan khidmat mengingat keberlangsungan KKN harus tetap terlaksana. Karena bagi saya, tidak ada salahnya jika kita saling memaafkan dan saling melepaskan ego kita masing-masing.
Dalam kehidupan sosial selama KKN tentu tak dapat kita hindari dari apa yang disebut konflik. Mulai dari konflik yang menjamur dikalangan anggota kelompok dan juga dikalangan warga. Tapi itu bukan masalah besar bagi kami, nyatanya kami mampu melewati semuanya. Seperti dalam teori Coser yang memandang bahwa konflik bisa memberi keuntungan pada masyarakat luas tempat konflik itu terjadi dan konflik justru bisa membuka peluang integrasi antar kelompok. Jadi, tak masalah bila konflik itu terjadi karena bagi saya, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang rasa permusuhan. Itulah yang kami rasakan selama KKN, bila konflik dalam kelompok tidak ada berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Terima kasih Lewis Coser telah mengajarkan kami arti konflik yang sebenarnya.
Saya kira inilah narasi penting yang dapat saya deskripsikan terkait dengan apa yang kita lakukan selama masa pengabdian di lokasi. Karena secara detail mengenai program-program kerja sudah memiliki tempatnya sendiri untuk dijelaskan.
Kompleksitas, Potensi Modal Sosial dan Kearifan Lokal
Ada beberapa hal yang saya petik selama satu bulan kegiatan KKN di desa Kronjo, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang. Pertama, jika dalam desa saja melekat dua ontologi (statika dan dinamika), maka masyarakatnya dapat dipastikan mengalami suatu dinamisasi. Seperti apa kata Selo Soemardjan, bahwa  masyarakat memiliki ontologinya, yakni sebagai dinamika. Karena jelas bahwa perubahan adalah niscaya bagi masyarakat. Seiring dengan meningkatnya populasi penduduk, maka meningkat pula apa yang disebut Durkheim sebagai kepadatan moral. Kepadatan moral masyarakat modern telah menciptakan suatu tatanan moral baru yang mestinya berbeda dengan tatanan moral lama kelompok masyarakat. yang menjadi pertanyaan adalah apakah tatanan moral lama benar-benar runtuh seutuhnya, ataukah tetap masih ada dan tidak sepenuhnya ditinggalkan oleh masyarakatnya?
            Apa yang saya lihat di lapangan (selama satu bulan lebih dalam kegiatan KKN) menyadarkan saya akan sifat keterbukaan sebuah teori. Bagaimana tidak, misalnya seperti apa yang dikatakan Durkheim bentuk solidaritas mekanis yang akan berubah menjadi solidaritas organis seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk menuai banyak kritik. Satu yang saya cermati, kondisi sosial ekonomi masyarakat desa Kronjo, kecamatan Kronjo, kabupaten Tangerang seakan kurang pas dengan dikotomi bentuk ikatan sosial yang ditawarkan Durkheim tersebut.
Jelas bahwa apa yang dimaksud Durkheim dengan solidaritas mekanis mengarah kepada bentuk masyarakat paling primitif sementara solidaritas organis merupakan bentuk masyarakat paling modern seperti yang digambarkan Durkheim dengan ciri-ciri perbedaan di antara keduanya. Masyarakat dengan solidaritas mekanis menurut Durkheim bersifat homogen, kesadaran kolektif tinggi yang mana mereka dipersatukan oleh keseragaman. Sementara masyarakat dengan solidaritas organis bersifat heterogen ditandai dengan tingkat kesadaran kolektif yang rendah di mana terjadi spesialisasi yang begitu beragam sehingga masyarakat modern dipersatukan dengan keberagaman.
Dengan argumentasi demikian, maka teori tersebut kurang tepat diterapkan di dalam fenomena desa – kota di Indonesia, secara khusus dalam konteks ini. Kesadaran kolektif masyarakat Kronjo terbilang cukup tinggi. Ini berkenaan dengan misalnyaproses menjaga komitmen moral bersama. Hal itu terepresentasikan secara kolektif misalnya pada pelaksanakan ritual-ritual keagamaan (nujuh bulanan, pengajian dan tahlilan misalnya) yang senantiasa melengkapi kegiatan kelompok KKN kami selama satu bulan di sana. Kemudian spesialisasi pekerjaan masyarakat juga tidak dapat dikatakan beragam. Faktanya, mayoritas masyarakat bermatapencaharian sebagai nelayan dan hanya sebagian kecil saja masyarakat yang bekerja di pabrik serta berdagang (warung sembako).
Kemudian, apa yang disebut Durkheim sebagai pemujaan individu – individualisme moral juga tidak layak diberikan bagi masyarakat desa Kronjo. Faktanya, hampir setiap hari sekretariat kelompok KKN kami kedapatan makanan dan minuman pemberian masyarakat sekitar. Ini menandakan bahwa masyarakat ingin mengintegrasikan dirinya dengan kami. Dengan kata lain, menjaga komitmen moral bersama.
            Di sinilah letak masalahnya. Apa yang ingin saya sampaikan ialah bahwa dinamika masyarakat memiliki kompleksitasnya tersendiri. Seperti apa yang terjadi di desa-desa di Indonesia pada umumnya, mereka tidak bisa dikatakan memiliki bentuk solidaritas organis saja atau solidaritas mekanis saja. Pada masyarakat desa Kronjo, jika fakta yang dipaparkan adalah demikian, maka hal itu bukankah berarti bahwa masyarakat desa Kronjo tidak mengalami proses perubahan? Benarkah Ia mengalami ciri dari involusi – kemandekan evolusi seperti yang diutarakan oleh Darmawan Salman? Dalam hemat saya, tentu tidak demikian. Sekali lagi ditekankan bahwa ini disebabkan oleh desa yang dilihat dari dimensi ontologi sebagai dinamika memang merupakan sebuah realitas kompleks. Kompleksitas desa menjadikan eksistensi desa kian diperkuat. Lagipula, dikotomi bentuk solidaritas yang ditawarkan Durkheim nampaknya kurang tepat dilekatkan kepada fenomena desa-kota di Indonesia. Dan secara keseluruhan, dua bentuk solidaritas yang dimaksud Durkheim nyatanya tidak bisa diterapkan begitu saja ke dalam masyarakat Indonesia.
            Hal kedua yang saya dapat ambil pelajaran darinya adalah betapa tingkat kepercayaan (trust) yang dimiliki masyarakat desa Kronjo sangat kuat. Jika mengacu kepada teori modal sosial dari Fukuyama yang mana indikatornya adalah kepercayaan,jaringan dan norma-norma, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat desa Kronjo memiliki potensi modal sosial yang kuat. Meskipun hal itu baru terlihat ketika kita sudah mengenal lebih dalam dan jauh masyarakatnya secara personal ataupun kolektifitas. Karena dari apa yang saya alami saat itu, tingkat kecurigaan masyarakat begitu kuat terhadap kami ketika minggu pertama kami di sana. Ini wajar mengingat trust yang belum terbangun, sehingga jaringan apalagi norma di antara kita belum terbentuk.
Namun demikian, seiring berjalannya waktu, konsep stranger (orang asing) yang dilekatkan oleh masyarakat kepada kami luntur seirama dengan intensitas interaksi yang kami galakkan. Interaksi yang terbangun secara otomatis membangun potensi modal sosial yakni trust, network dan norms. Yang saya maksud di sini ialah modal sosial bersama antara masyarakat desa Kronjo dengan kelompok KKN Rosa Bamboosa 2017 UIN Jakarta.
            Terakhir, saya dapat mengambil pelajaran bahwa bentuk kearifan lokal (local wisdom) suatu lokalitas tertentu merupakan hal yang positif. Dalam konteks ini, yakni masyarakat desa Kronjo, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tanggerang memiliki kearifan lokal yang saya kira bernilai positif. Sebagai contoh, ketika bagian konsumsi pada salah satu program kami hendak menambahkan panganan kepada warga yang hadir, maka hal itu dicegah oleh pemilik rumah yang kediamannya saat itu dijadikan tempat berlangsungnya program. Ibu Sekdes (pemilik rumah) mengatakan bahwa jangan memaksakan diri. Yang dimaksud di sini adalah apa yang kita berikan harus sesuai dengan kemampuan kita, dan jangan memaksakan diri untuk memberi lebih. Memang, ketika anggaran konsumsi suatu program sudah ditetapkan, tetapi hal-hal tidak terduga bisa saja terjadi seperti konsumsi tidak mencukupi ketika warga yang hadir tidak sesuai perkiraan.
            Apa yang diyakini bu Sekdes dan masyarakat lainnya terkait jangan memaksakan diri sangat berarti bagi kami. Kami menjadi sadar bahwa segala sesuatu yang dipaksakan akan memiliki dampak buruk. Sekalipun kami harus mengorbankan rasa tidak enak kepada warga karena kurangnya konsumsi, tetapi dengan mengetahui masyarakat memiliki kearifan lokal tersebut menjadikan rasa itu hilang. Intinya ialah saya inginmengatakan bahwa dibalik kalimat “jangan memaksakan diri” mengandung pesan moral yang amat dalam dan tentunya bernilai positif di mata kita semua.
            Hal lain yang tidak lupa dapat saya tuturkan adalah bahwa eksistensi manusia memang tidak bisa dilepaskan dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial dicirikan dengan tidak sanggupnya ia memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya sendiri, manusia senantiasa membutuhkan manusia lainnya. Karena itulah dorongan interaksi akan menjadi lebih kuat ketimbang dengan hambatan berinteraksi. Kembali kepada apa yang saya sampaikan di atas, pada akhirnya konsep stranger yang mungkin dilekatkan kepada kelompok KKN Rosa Bamboosa 2017 UIN Jakarta oleh masyarakat sekitar dapat terhapus, dan masyarakat akhirnya memutuskan untuk mengintegrasikan dirinya dengan kami.
            Demikianlah bagaimana kompleksitas masyarakat, modal sosial yang kuat dan bentuk kearifan lokal bernilai positif yang dimilki masyarakat desa Kronjo, kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang sangat membantu kami dalam pelaksanaan program-program selama satu bulan di sana. Akhirnya, Saya secara khusus mengucapkan terimakasih kepada seluruh elemen dalam setiap sistem sosial yang merupakan bagian dari masyarakat desa Kronjo, kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang.
Best Wishes For Kronjo
Kadang kami fokus pada program kerja tetapi kami tidak mengetahui isi hati kami masing-masing yang telah berjuang dalam program ini. Kalau dikatakan bahwa kami lugu, mungkin tidak juga, karena kami adalah mahasiswa yang ditempat mereka dipandang sebagai orang dewasa, yang cukup makan garam dalam berbagai pengalaman dan keilmuan. Mungkin keikhlasan, ketaatan, ketekunan dan kesabaran adalah kata yang tepat, yang merupakan penghargaan yang diberikan oleh masyarakat kepada kami karena penuh ketulusan kami telah melakukan setiap program di desa mereka.
Mereka tidak pernah mengeluh, mereka susah mengatakan “tidak”, bahkan jawaban mereka selalu “ya” dan “siap” dalam keterlibatan mereka atas program yang kami galakan. Namun dibalik itu semua tersimpan banyak harapan-harapan untuk kemajuan Desa Kronjo terutama program yang sudah ada di desa Kronjo. Karena mungkin di lubuk hati kami yang paling dalam adalah kami mengharapkan setiap program yang ada di desa mereka bukan hanya sekedar program saja, tetapi bisa sukses dan membawa manfaat yang besar bagi desa mereka. Mungkin harapan-harapan kamijuga tidak lebih dari sebuah kalimat, mungkin juga tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, namun mungkin terbesit sejuta harapan untuk desa Kronjo tercinta, yakni desa yang maju dalam banyak hal bahkan desa yang sejahtera masyarakatnya.
            Pulau Cangkir merupakan daerah tempat wisata ziarah yang berada di Desa Kronjo. Hal tersebut menjadi peluang terbesar bagi kemajuan Desa Kronjo. Dengan demikian harapan kami bahwa kementrian pariwisata yang ada di kabinet kerja sekarang hendaknya memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Kemajuan pariwisata harus diimbangi dengan kemajuan perekonomian masyarakat. Pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah sebagai tolak ukur keberhasilan pariwisata Indonesia secara umum dan bagi Desa Kronjo secara khusus. Jadi perlunya pembangunan peningkatan pariwisatadengan berbasis masyarakat. Strategi terbaik untuk mengembangkan desa Kronjo dengan meningkatkan partisipasi masyarakat adalah dengan cara meningkatkan kemajuan Desa Wisata. Selain itu, lingkungan Desa Kronjo masih jauh dari kata INDAH. Setelah melalui berbagai penyuluhan kesadaran lingkungan dan juga pemberian tempat sampah bagi lingkungan Desa Kronjo maka kami berharap agar tingkat kesadaran kepedulian masyarakat kepada lingkungan semakin tinggi sehingga dapat terwujudnya DKI (Desa Kronjo Indah).

No comments:

Post a Comment

Tentukan Sendiri Definisi Cantikmu

  Mereka bilang kamu cantik; “andai badanmu lebih langsing lagi, lemak di perutmu masih menggelambir, kamu wajib diet, potong jatah makanmu,...