Diawali pada ranah konseptual, konsep frame dalam dimensi sosiologis harus
berterima kasih atas kontribusi Erving Goffman. Bagi Goffman, frame berkaitan
erat dengan individu. Frame diartikan sebagai skema interpretasi yang
memungkinkan individu untuk memetakan, memahami, dan mengidentifikasi serta memberikan
label terhadap setiap kejadian yang muncul dalam kehidupan mereka dan dunia
secara umum (Goffman dalam Hidayat, 2012: 125).
Sementara itu, berbeda dengan Goffman, Benford dan Snow (2000) dalam
Hidayat (2012) menyebutkan tiga hal yang menjadi perhatian utama, yang disebut
sebagai core framing task: diagnostic
framing, pragnostic framing dan motivational
framing (Hidayat: 2012: 121). Hidayat (2012) memaparkan penjelasan ketiga
hal tersebut sebagai berikut:
Pertama adalah diagnostic framing, yaitu yang
dikonstruksikan dalam sebuah gerakan sosial guna memberikan pemahaman mengenai
situasi kondisi yang sifatnya problematik. Kondisi mengenai apa dan siapa yang
patut disalahkan, sehingga membutuhkan adanya suatu perubahan. Dalam level ini,
aktor-aktor gerakan sosial mendefinisikan pemasalahan-permasalahan apa saja
yang menjadi isu utama yang membuat mereka menginginkan adanya perubahan.
Kedua, pragnistic framing, yaitu artikulasi solusi yang ditawarkan bagi
persoalan-persoalan yang sudah diidentifikasikan sebelumnya. Dalam aktifitas
pragnostic framing, gerakan sosial juga melakukan berbagai penyangkalan atau
menjamin kemanjuran dari solusi yang ditawarkan. Terakhir adalah motivational
framing, yaitu elaborasi panggilan bergerak atau dasar untuk terlibat dalam usaha memperbaiki keadan melalui tindakan
kolektif (Hidayat, 2012: 121-122).
Penjelasan tersebut dengan kata lain,
mengandung beberapa tahapan-tahapan dalam sebuah framing gerakan. Dimulai dari
tahap diagnostic, kemudian menuju tahap pragnostic dan terakhir tahap
motivational. Dengan mengacu pada penjelasan di ataslah yang menjadi fokus
penulis dalam menjelaskan framing
strategy di
dalam gerakan Hizbut Tahrir Indonesia.
Meskipun saat ini HTI sudah di hentikan di Indonesia, namun penulis tidak
membahas lebih dalam mengenai hal tersebut
1. Gambaran Umum Hizbut
Tahrir Indonesia
Hizbut Tahrir berdiri pada tahun 1953 di
Al-Quds (Baitul Maqdis), Palestina. Gerakan yang menitik beratkan perjuangan
membangkitkan umat di seluruh dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui
tegaknya kembali Khilafah Islamiyah ini dipelopori oleh Syeikh Taqiyuddin
An-Nabhani, seorang ulama alumni Al-Azhar Mesir, dan pernah menjadi hakim di
Mahkamah Syariah di Palestina.
Hizbut Tahrir kini telah berkembang ke seluruh
negara Arab di Timur Tengah, termasuk di Afrika seperti Mesir, Libya, Sudan dan
Aljazair. Juga ke Turki, Inggris, Perancis, Jerman, Austria, Belanda, dan
negara-negara Eropa lainnya hingga ke Amerika Serikat, Rusia, Uzbekistan,
Tajikistan, Kirgistan, Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan Australia.
Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada tahun
1980-an dengan merintis dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia.
Pada era 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir merambah ke masyarakat, melalui
berbagai aktivitas dakwah di masjid, perkantoran, perusahaan, dan perumahan.
2. Hizbut
Tahrir Indonesia Sebagai Gerakan Sosial Politik
Van Klinken (2007) mendefinisikan gerakan
sosial sebagai kolektifitas dengan organisasi dan kontinuitas tertentu bertindak
di luar saluran institusional dengan tujuan menggugat atau mempertahankan
otoritas, entah yang didasarkan secara institusional atau kultural dan berlaku
dalam kelompok, organisasi, masyarakat, kebudayaan atau tatanan dunia di mana
mereka merupakan salah satu bagiannya (Haryanto, Hairini dan Abu Bakar, 2013:
188-189). Snow (2004) sama halnya dengan Klinken mendefinisikan gerakan sosial sebagai
gerakan kolektif yang terorganisasi dan berkelanjutan, yang bertujuan untuk menentang otoritas yang ada,
baik secara institusi maupun kultural (Hidayat, 2012: 119). Banyak definisi
lain dari berbagai ahli mengenai konsep gerakan sosial, akan tetapi, pada
intinya dapat ditarik kesimpulan bahwa gerakan sosial memiliki elemen ataupun
karakteristik tertentu. Terkait hal itu, gerakan sosial harus mencakup conflictual collective action, dense
informal networks dan collective
identity (Porta dan Diani, 2006: 21).
Beranjak
mengenai gerakan sosial politik, Setiadi dan Kolip (2013) dalam Pengantar Sosiologi Politik menjelaskan:
Gerakan
sosial politik merupakan gerakan sosial kemasyarakatan di bidang politik.
Gerakan ini dapat berkisar di sekitar satu masalah atau dari rangkaian isu
permasalahan atau timbunan keprihatinan bersama dari sekelompok sosial. Gerakan
ini muncul sebagai reaksi dari sistem politik yang dipandang tidak memihak
kepada rakyat hingga mereka melakukan gerakan yang bertujuan untuk menunjukkan
eksistensi dan ekspresi kepentingannya (Setiadi dan Kolip, 2013: 221).
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dapat
digolongkan sebagai gerakan sosial politik. HTI merupakan kelompok sosial –
organisasi politik yang lahir demi menyelesaikan segala problematika umat islam
di tengah-tengah sistem ekonomi politik global yang berasal dari barat dengan
menawarkan solusi menegakkan syariah. HTI merupakan salah satu gerakan penegak
syariat yang paling solid, rapi dan memiliki jaringan internasional, dan bahkan
dikenal sebagai salah satu yang paling radikal, dikarenakan perjuanganya adalah
untuk menerapkan sistem negara khilafah yang dipandang sebagai satu-satunya
sistem yang mampu untuk menerapkan syariat secara total (kaffah).
Namun demikian, mengatakan HTI sebagai gerakan
radikal ternyata tidak bijak. HTI bukanlah termasuk ke dalam kelompok radikal
yang senantiasa erat dengan tindakan kekerasan sampai pada tahap yang paling
ekstrim. HTI berbeda dengan gerakan-gerakan fundamentalisme religius islam
dalam isu-isu radikalisme kelompok di Indonesia. Muluk (2010) menjelaskan
terkait permasalahan kelompok fundamentalisme religius: Dalam konteks kelompok
fundamental religius, pandangan dunia ini misalnya ditawarkan oleh konsep
jihad. Yaitu usaha untuk mebuat immortal adalah hanya dengan cara
mempertahankan mati-matian keyakinan keagamaan ini sebagai jaminan untuk
memperoleh kekekalan di surga, kalau perlu dengan menghalalkan kekerasan.
Semakin kelompok ini merasa bahwa pandangan dunia mereka terancam (dengan
adanya billiard, karaoke, kemaksiatan dan lain-lain) maka semakin besar
keinginan untuk melakukan kekerasan dalam rangka melindungi cultural worldview mereka (Muluk, 2010:
105).
Pada akhirnya, HTI berhasil
menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah gerakan yang paling berbeda. Terutama
dalam aspek cara-cara atau aktualisasi dalam mewujudkan tujuan mereka. HTI
adalah gerakan yang mengikuti metode thariqah
dakwah Nabi Muhammad SAW tanpa menggunakan kekerasan.
Zulfadli (2010) menyatakan, sebagai sebuah
gerakan yang bertujuan mewujudkan tegaknya syariat islam dalam sistem negara
khilafah, aktivitas HTI yang nampak dalam analisa gerakan sosial ini terutama
fokus pada memanfaatkan peluang politik, memobilisasi struktur dan penyusunan
proses gerakan (framing). Zulfadli memaparkan:
…pertama, memanfatkan peluang
politik, yaitu peluang reformasi untuk mengakhiri gerakan bawah tanah menjadi
gerakan legal sehingga dapat bergerak dengan leluasa. Kedua, memobilisasi
struktur, yang terdiri dari mobilisasi internal dengan melakukan perkaderan
secara intensif dan mobilisasi eksternal dengan melakukan penyadaran tentang
wajib dan mendesaknya penegakkan syariat islam dan khilafah kepada semua elemen
di luar HTI dengan berbagai kegiatan. Ketiga, penyusunan proses gerakan, yakni
dengan cara melakukan pergolakan pemikiran dengan menentang segala pemikiran
dan sistem dari barat, seperti demokrasi, nasionalisme dan HAM (Zulfadli, 2010:
6).
Upaya yang dilakukan HTI adalah mendekonstruksi
ranah makro dengan fokus pada pembenahan ranah mikro. Dengan kata lain, HTI
berusaha merubah pola pikir tiap-tiap individu sebagai tonggak awal dan pondasi
berubahnya sistem barat menjadi sistem khilafah islamiyah. Ini berarti, secara
eksplisit terkait dengan motivasi individual untuk ikut serta ke dalam gerakan
HTI yang datang dari kolaborasi antara struktur makro yakni sistem kehidupan
dan ranah mikro yakni keyakinan atau ideologi. Bagian selanjutnya, penulis akan
mencoba menjelaskan bagaimana HTI melakukan framing terkait dengan penyusunan
proses gerakan yang mereka lakukan.
3. Framing Strategy dalam
Gerakan Hizbut Tahrir Indonesia
HTI sebagai sebuah gerakan sosial – politik
memiliki framing dalam pengemasan ideologinya. Framing juga sekaligus menjadi
penanda bagi aktifitas-aktifitas para aktor gerakan dakwah HTI. Penulis mencoba
menjelaskan tahapan-tahapan framing dari gerakan HTI di Indonesia. Dalam hal
diagnostic framing, bagi gerakan dakwah HTI, umat islam semenjak keruntuhan
sistem kekhilafahan terakhir Turki Ustmani (diyakini oleh HTI) mengalami
kemunduran di setiap aspek kehidupan. Umat islam seakan kehilangan arah di
tengah-tengah berondongan ide-ide dari Barat (Amerika dan Eropa). Penidasan dan
keterpurukan dalam berbagai bentuk dialami umat islam di seluruh dunia. Umat
islam seakan tidak berdaulat politik, berdikari ekonomi dan berkepribadian
budaya – identitas yang jelas. Musuh-musuh islam dapat dengan seenaknya tanpa
rasa takut mengusik umat islam. Jawas (2008) dalam Hidayat (2012) menyebutkan
bahwa bangwa bangsa-bangsa non-islam tidak takut lagi kepada kaum muslimin
karena kaum muslimin telah kehilangan wibawanya dan terjangkit penyakit al-wahn (Hidayat, 2012: 126).
Menurut Hidayat (2012), pangkal
permasalahan ini ialah karena umat islam telah jauh dari pemahaman islam dalam
al-qur’an dan sunnah yang sejalan dengan pemahaman para sahabat (Hidayat, 2012:
126). Sehingga, hal ini berimplikasi kepada merosotnya akidah umat islam yang
tercermin dari perilaku dan moral mereka yang merosot. HTI meyakini bahwa
syariat islam hanya akan dapat diterapkan secara total atau kaffah di dalam sistem islam –
kekhilafahan, dan bukannya sistem-sistem di luar islam yang justru menjadi akar
masalah umat saat ini. Latar belakang inilah yang menjadi titik tolak semangat
dakwah HTI. Kondisi-kondisi yang diartikulasikan oleh HTI inilah yang merupakan
bagian dalam tahap diagnostik framing.
Selanjutnya, setelah kondisi-kondisi
tersebut diartikulasikan, maka HTI merumuskan solusi untuk membawa kembali
kejayaan umat. Pada dasarnya, solusi tersebut sangatlah sederhana, namun pada
praksisnya tidaklah demikian. Bagi HTI, solusi umat islam ialah mendirikan
sistem kekhilafahan yang secara implisit berarti kembali pada al-qur’an dan
sunnah secara total. HTI meyakini, bahwa bukan sekadar kembali kepada al-qur’an
dan sunnah demi kembalinya kejayaan umat. Karena, bagaimanapun, agama haruslah
terikat dengan negara. Dalam hal ini, HTI dengan pasti mengaskan, yang dapat
memayungi diterapkan syraiat islam secara total adalah negara khilafah.
Berbeda dengan gerakan salafi yang
meskipun memfokuskan juga kepada tauhid dan kembali kepada al-qur’an dan
sunnah, tetapi tidak secara gamblang menganjurkan diterapkannya kekhilafahan
(Hidayat, 2012). HTI berfokus pada ranah mikro terlebih dahulu, yakni
mendekonstruksi pemahaman atau fikroh umat
islam secara individual. Dengan memiliki pemahaman menyeluruh akan islam,
diharapkan terwujudnya perilaku yang mencerminkan islam secara keseluruhan
pula. Implementasinya kemudian ialah berdirinya khilafah islamiyah kembali.
Penyampaian solusi dan penjaminan solusi inilah yang masuk ke dalam tahap
pragnostic framing gerakan HTI.
Setelah melalui tahap diagnostic dan
pragnostic ini, proses framing masuk ke dalam tahap yang disebut dengan
motivasional framing. HTI dengan konstruksi atas permasalahan yang ada dan
artikulasi solusi yang ditawarkan memulai aktifitas kolektifnya dengan
melakukan perkaderan secara serius, penerbitan opini-opini melalui media cetak
dan elektronik, mendirikan institusi-instusi yang semuanya berbanding lurus
dengan framing yang telah dilakukan, sehingga konten-konten pada tiap aktifitas
berusaha mengangkat ke permukaan kondisi
kekinian umat yang terpuruk, dan wajib serta mendesaknya menegakkan khilafah
islamiyah. Hidayat (2012) menjelaskan: Dengan demikian, proses
framing ini sebenarnya menghasilkan beberapa hal. Pertama, ia memberikan
batasan ideologi sebuah gerakan serta pengemasannya guna bisa diterima atau
didukung oleh khalayak. Kedua, ia menjadi acuan cara bertindak atau guideline dalam rangka mencapai
tujuan. (Hidayat, 2012: 127).
Kemudian, secara umum menurut
Benford dan Snow dalam Hidayat (2012) menyebut ini proses tesebut juga sebagai frame alignment. Dalam frame alignment,
mencakup tiga tahap yakni frame bridging, frame amplification dan frame
extention. Dalam gerakan HTI, yang pertama dilakukan adalah menyampaikan
kondisi-kondisi keterpurukan umat islam yang tidak terlalu di sorot media. HTI
dengan gamblang menggambarkan bagaimana penderitaan umat islam dewasa ini.
Inilah proses frame bridging dalam gerakan HTI.
Selanjutnya, HTI menekankan bahwa ini
disebabkan oleh tidak diterapkannya syariat islam secara total dalam praksis
kehidupan umat islam. Inilah proses frame amplification (penekanan) dalam
gerakan HTI. Terakhir, HTI melakukan frame extention (penambahan), HTI
menyampaikan darurat dan mendesaknya mendirikan khilafah islamiyah sebagai
satu-satunya sistem yang dapat menyangga penerapan syariat islam secara kaffah.
Ketiga proses framing yang dilakukan HTI tersebut masing-masing telah
menunjukkan relevansinya.
4. Kontribusi
Pembangunan Demokrasi HTI di Indonesia
Berbicara mengenai kontribusi pembangunan
demokrasi di Indonesia yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia sebenarnya
banyak memunculkan kontroversi. Berbagai macam persepsi ditujukan dari berbagai
sudut pandang. Bila menggunakan sudut pandang dari HTI itu sendiri merupakan gerakan-gerakan
sosial-politik islam di Indonesia tumbuh subur terutama didukung oleh sistem
demokrasi. Bahkan, gerakan-gerakan yang bersifat radikal sekalipun dapat dengan
bebas hadir ke khalayak. Termasuk juga gerakan yang bersifat protest terhadap sistem demokrasi itu
sendiri.
Hizbut Tahrir Indonesia seperti organisasi
gerakan sosial lain yang sejenis mengangkat wacana ketidaksetujuan terhadap demokrasi
dan menawarkan solusi kembali kepada syariah dan khilafah sebagai jalan keluar.
Diskursus yang diangkat ke ruang publik adalah bahwa demokrasi dan kapitalisme
barat menjadi penyebab utama kesengsaraan umat islam. Ini dikarenkan sistem
politik dan ekonomi itu bukan berasal dari islam, oleh karenanya harus kembali
ke dalam sistem politik dan ekonomi islam. Hal
tersebut menunjukkan bahwa Hizbut Tahrir Indonesia telah melakukan kontribusi
pembangunan demokrasi di Indonesia.
Dalam sudut pandang
Negara Indonesia, jelas HTI tidak memberikan pembangunan demokrasi di
Indonesia. Karena, pembangunan demokrasi di Indonesia merupakan langkah solutif
untuk kemakmuran dan kesejahteraan Warga Negara Indonesia. Artinya, pembangunan
tersebut harus menciptakan atau menghasilkan hal yang solutif untuk kedepannya
secara jangka panjang. Realita saat ini menunjukan bahwa pembubaran HTI di
Indonesia adalah akibat dari gerakan
sosial-politik Hizbut Tahrir indonesia (HTI) yang
bertentangan dengan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945 yang merupakan dasar
hukum Indonesia. Dengan demikian gerakan HTI tidak berhasil di Indonesia. Framing
strategy yang dibuat oleh HTI memang sampai pada permukaan khalayak umum di
Indonesia, akan tetapi gerakan tersebut tidak lah berhasil karena tuntutan yang
diberikan melalui framing tersebut tidak serta merta dipenuhi secara utuh oleh
Indonesia. Nyatanya, saat ini HTI telah dibubarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Dadi, Hidayat. 2012. Gerakan Dakwah Salafi di Indonesia pada Era
Reformasi. Jurnal Sosiologi Masyarakat Lab Sosio Universitas Indonesia.
Vol.17, No.2, Juli 2012. Diakses melalui (http://journal.ac.id/index.php/jsm/article/view/3738/2977). Pada tanggal 27 Juni 2017.
Haryanto, Hairini dan Abu Bakar. 2013. PKBI: Aktor Intermediary dan Gerakan Sosial
Baru. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Vol.16,
No.3, Maret 2013. Diakses melalui (http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/295/292). Pada tanggal 28 Juni 2017.
Muluk, Hamdi. 2012. Mozaik Psikologi Politik Indonesia. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Porta, Donatella dan Mario Diani. 2006.
Social Movement, an Introduction (2nd.). Victoria, Malden, Oxford:
Blackwell Publishing.
No comments:
Post a Comment