Friday, August 3, 2018

Analisis Framing Strategy: Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)



Diawali pada ranah konseptual, konsep frame dalam dimensi sosiologis harus berterima kasih atas kontribusi Erving Goffman. Bagi Goffman, frame berkaitan erat dengan individu. Frame diartikan sebagai skema interpretasi yang memungkinkan individu untuk memetakan, memahami, dan mengidentifikasi serta memberikan label terhadap setiap kejadian yang muncul dalam kehidupan mereka dan dunia secara umum (Goffman dalam Hidayat, 2012: 125).
Sementara itu, berbeda dengan Goffman, Benford dan Snow (2000) dalam Hidayat (2012) menyebutkan tiga hal yang menjadi perhatian utama, yang disebut sebagai core framing task: diagnostic framing, pragnostic framing dan motivational framing (Hidayat: 2012: 121). Hidayat (2012) memaparkan penjelasan ketiga hal tersebut sebagai berikut:
Pertama adalah diagnostic framing, yaitu yang dikonstruksikan dalam sebuah gerakan sosial guna memberikan pemahaman mengenai situasi kondisi yang sifatnya problematik. Kondisi mengenai apa dan siapa yang patut disalahkan, sehingga membutuhkan adanya suatu perubahan. Dalam level ini, aktor-aktor gerakan sosial mendefinisikan pemasalahan-permasalahan apa saja yang menjadi isu utama yang membuat mereka menginginkan adanya perubahan. Kedua, pragnistic framing, yaitu artikulasi solusi yang ditawarkan bagi persoalan-persoalan yang sudah diidentifikasikan sebelumnya. Dalam aktifitas pragnostic framing, gerakan sosial juga melakukan berbagai penyangkalan atau menjamin kemanjuran dari solusi yang ditawarkan. Terakhir adalah motivational framing, yaitu elaborasi panggilan bergerak atau dasar untuk terlibat dalam  usaha memperbaiki keadan melalui tindakan kolektif (Hidayat, 2012: 121-122).
Penjelasan tersebut dengan kata lain, mengandung beberapa tahapan-tahapan dalam sebuah framing gerakan. Dimulai dari tahap diagnostic, kemudian menuju tahap pragnostic dan terakhir tahap motivational. Dengan mengacu pada penjelasan di ataslah yang menjadi fokus penulis dalam menjelaskan framing strategy di dalam gerakan Hizbut Tahrir Indonesia. Meskipun saat ini HTI sudah di hentikan di Indonesia, namun penulis tidak membahas lebih dalam mengenai hal tersebut

1. Gambaran Umum Hizbut Tahrir Indonesia
            Hizbut Tahrir berdiri pada tahun 1953 di Al-Quds (Baitul Maqdis), Palestina. Gerakan yang menitik beratkan perjuangan membangkitkan umat di seluruh dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah ini dipelopori oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang ulama alumni Al-Azhar Mesir, dan pernah menjadi hakim di Mahkamah Syariah di Palestina.
Hizbut Tahrir kini telah berkembang ke seluruh negara Arab di Timur Tengah, termasuk di Afrika seperti Mesir, Libya, Sudan dan Aljazair. Juga ke Turki, Inggris, Perancis, Jerman, Austria, Belanda, dan negara-negara Eropa lainnya hingga ke Amerika Serikat, Rusia, Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan Australia.
Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dengan merintis dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Pada era 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir merambah ke masyarakat, melalui berbagai aktivitas dakwah di masjid, perkantoran, perusahaan, dan perumahan.
2. Hizbut Tahrir Indonesia Sebagai Gerakan Sosial Politik
Van Klinken (2007) mendefinisikan gerakan sosial sebagai kolektifitas dengan  organisasi dan kontinuitas tertentu bertindak di luar saluran institusional dengan tujuan menggugat atau mempertahankan otoritas, entah yang didasarkan secara institusional atau kultural dan berlaku dalam kelompok, organisasi, masyarakat, kebudayaan atau tatanan dunia di mana mereka merupakan salah satu bagiannya (Haryanto, Hairini dan Abu Bakar, 2013: 188-189). Snow (2004) sama halnya dengan Klinken mendefinisikan gerakan sosial sebagai gerakan kolektif yang terorganisasi dan berkelanjutan, yang bertujuan untuk menentang otoritas yang ada, baik secara institusi maupun kultural (Hidayat, 2012: 119). Banyak definisi lain dari berbagai ahli mengenai konsep gerakan sosial, akan tetapi, pada intinya dapat ditarik kesimpulan bahwa gerakan sosial memiliki elemen ataupun karakteristik tertentu. Terkait hal itu, gerakan sosial harus mencakup conflictual collective action, dense informal networks dan collective identity (Porta dan Diani, 2006: 21).
Beranjak mengenai gerakan sosial politik, Setiadi dan Kolip (2013) dalam Pengantar Sosiologi Politik menjelaskan:
Gerakan sosial politik merupakan gerakan sosial kemasyarakatan di bidang politik. Gerakan ini dapat berkisar di sekitar satu masalah atau dari rangkaian isu permasalahan atau timbunan keprihatinan bersama dari sekelompok sosial. Gerakan ini muncul sebagai reaksi dari sistem politik yang dipandang tidak memihak kepada rakyat hingga mereka melakukan gerakan yang bertujuan untuk menunjukkan eksistensi dan ekspresi kepentingannya (Setiadi dan Kolip, 2013: 221).
            Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dapat digolongkan sebagai gerakan sosial politik. HTI merupakan kelompok sosial – organisasi politik yang lahir demi menyelesaikan segala problematika umat islam di tengah-tengah sistem ekonomi politik global yang berasal dari barat dengan menawarkan solusi menegakkan syariah. HTI merupakan salah satu gerakan penegak syariat yang paling solid, rapi dan memiliki jaringan internasional, dan bahkan dikenal sebagai salah satu yang paling radikal, dikarenakan perjuanganya adalah untuk menerapkan sistem negara khilafah yang dipandang sebagai satu-satunya sistem yang mampu untuk menerapkan syariat secara total (kaffah).
Namun demikian, mengatakan HTI sebagai gerakan radikal ternyata tidak bijak. HTI bukanlah termasuk ke dalam kelompok radikal yang senantiasa erat dengan tindakan kekerasan sampai pada tahap yang paling ekstrim. HTI berbeda dengan gerakan-gerakan fundamentalisme religius islam dalam isu-isu radikalisme kelompok di Indonesia. Muluk (2010) menjelaskan terkait permasalahan kelompok fundamentalisme religius: Dalam konteks kelompok fundamental religius, pandangan dunia ini misalnya ditawarkan oleh konsep jihad. Yaitu usaha untuk mebuat immortal adalah hanya dengan cara mempertahankan mati-matian keyakinan keagamaan ini sebagai jaminan untuk memperoleh kekekalan di surga, kalau perlu dengan menghalalkan kekerasan. Semakin kelompok ini merasa bahwa pandangan dunia mereka terancam (dengan adanya billiard, karaoke, kemaksiatan dan lain-lain) maka semakin besar keinginan untuk melakukan kekerasan dalam rangka melindungi cultural worldview mereka (Muluk, 2010: 105).
            Pada akhirnya, HTI berhasil menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah gerakan yang paling berbeda. Terutama dalam aspek cara-cara atau aktualisasi dalam mewujudkan tujuan mereka. HTI adalah gerakan yang mengikuti metode thariqah dakwah Nabi Muhammad SAW tanpa menggunakan kekerasan.
             Zulfadli (2010) menyatakan, sebagai sebuah gerakan yang bertujuan mewujudkan tegaknya syariat islam dalam sistem negara khilafah, aktivitas HTI yang nampak dalam analisa gerakan sosial ini terutama fokus pada memanfaatkan peluang politik, memobilisasi struktur dan penyusunan proses gerakan (framing). Zulfadli memaparkan:
pertama, memanfatkan peluang politik, yaitu peluang reformasi untuk mengakhiri gerakan bawah tanah menjadi gerakan legal sehingga dapat bergerak dengan leluasa. Kedua, memobilisasi struktur, yang terdiri dari mobilisasi internal dengan melakukan perkaderan secara intensif dan mobilisasi eksternal dengan melakukan penyadaran tentang wajib dan mendesaknya penegakkan syariat islam dan khilafah kepada semua elemen di luar HTI dengan berbagai kegiatan. Ketiga, penyusunan proses gerakan, yakni dengan cara melakukan pergolakan pemikiran dengan menentang segala pemikiran dan sistem dari barat, seperti demokrasi, nasionalisme dan HAM (Zulfadli, 2010: 6).
Upaya yang dilakukan HTI adalah mendekonstruksi ranah makro dengan fokus pada pembenahan ranah mikro. Dengan kata lain, HTI berusaha merubah pola pikir tiap-tiap individu sebagai tonggak awal dan pondasi berubahnya sistem barat menjadi sistem khilafah islamiyah. Ini berarti, secara eksplisit terkait dengan motivasi individual untuk ikut serta ke dalam gerakan HTI yang datang dari kolaborasi antara struktur makro yakni sistem kehidupan dan ranah mikro yakni keyakinan atau ideologi. Bagian selanjutnya, penulis akan mencoba menjelaskan bagaimana HTI melakukan framing terkait dengan penyusunan proses gerakan yang mereka lakukan.

3.  Framing Strategy dalam Gerakan Hizbut Tahrir Indonesia
HTI sebagai sebuah gerakan sosial – politik memiliki framing dalam pengemasan ideologinya. Framing juga sekaligus menjadi penanda bagi aktifitas-aktifitas para aktor gerakan dakwah HTI. Penulis mencoba menjelaskan tahapan-tahapan framing dari gerakan HTI di Indonesia. Dalam hal diagnostic framing, bagi gerakan dakwah HTI, umat islam semenjak keruntuhan sistem kekhilafahan terakhir Turki Ustmani (diyakini oleh HTI) mengalami kemunduran di setiap aspek kehidupan. Umat islam seakan kehilangan arah di tengah-tengah berondongan ide-ide dari Barat (Amerika dan Eropa). Penidasan dan keterpurukan dalam berbagai bentuk dialami umat islam di seluruh dunia. Umat islam seakan tidak berdaulat politik, berdikari ekonomi dan berkepribadian budaya – identitas yang jelas. Musuh-musuh islam dapat dengan seenaknya tanpa rasa takut mengusik umat islam. Jawas (2008) dalam Hidayat (2012) menyebutkan bahwa bangwa bangsa-bangsa non-islam tidak takut lagi kepada kaum muslimin karena kaum muslimin telah kehilangan wibawanya dan terjangkit penyakit al-wahn (Hidayat, 2012: 126).
            Menurut Hidayat (2012), pangkal permasalahan ini ialah karena umat islam telah jauh dari pemahaman islam dalam al-qur’an dan sunnah yang sejalan dengan pemahaman para sahabat (Hidayat, 2012: 126). Sehingga, hal ini berimplikasi kepada merosotnya akidah umat islam yang tercermin dari perilaku dan moral mereka yang merosot. HTI meyakini bahwa syariat islam hanya akan dapat diterapkan secara total atau kaffah di dalam sistem islam – kekhilafahan, dan bukannya sistem-sistem di luar islam yang justru menjadi akar masalah umat saat ini. Latar belakang inilah yang menjadi titik tolak semangat dakwah HTI. Kondisi-kondisi yang diartikulasikan oleh HTI inilah yang merupakan bagian dalam tahap diagnostik framing.
            Selanjutnya, setelah kondisi-kondisi tersebut diartikulasikan, maka HTI merumuskan solusi untuk membawa kembali kejayaan umat. Pada dasarnya, solusi tersebut sangatlah sederhana, namun pada praksisnya tidaklah demikian. Bagi HTI, solusi umat islam ialah mendirikan sistem kekhilafahan yang secara implisit berarti kembali pada al-qur’an dan sunnah secara total. HTI meyakini, bahwa bukan sekadar kembali kepada al-qur’an dan sunnah demi kembalinya kejayaan umat. Karena, bagaimanapun, agama haruslah terikat dengan negara. Dalam hal ini, HTI dengan pasti mengaskan, yang dapat memayungi diterapkan syraiat islam secara total adalah negara khilafah.
            Berbeda dengan gerakan salafi yang meskipun memfokuskan juga kepada tauhid dan kembali kepada al-qur’an dan sunnah, tetapi tidak secara gamblang menganjurkan diterapkannya kekhilafahan (Hidayat, 2012). HTI berfokus pada ranah mikro terlebih dahulu, yakni mendekonstruksi pemahaman atau fikroh umat islam secara individual. Dengan memiliki pemahaman menyeluruh akan islam, diharapkan terwujudnya perilaku yang mencerminkan islam secara keseluruhan pula. Implementasinya kemudian ialah berdirinya khilafah islamiyah kembali. Penyampaian solusi dan penjaminan solusi inilah yang masuk ke dalam tahap pragnostic framing gerakan HTI.
            Setelah melalui tahap diagnostic dan pragnostic ini, proses framing masuk ke dalam tahap yang disebut dengan motivasional framing. HTI dengan konstruksi atas permasalahan yang ada dan artikulasi solusi yang ditawarkan memulai aktifitas kolektifnya dengan melakukan perkaderan secara serius, penerbitan opini-opini melalui media cetak dan elektronik, mendirikan institusi-instusi yang semuanya berbanding lurus dengan framing yang telah dilakukan, sehingga konten-konten pada tiap aktifitas berusaha mengangkat  ke permukaan kondisi kekinian umat yang terpuruk, dan wajib serta mendesaknya menegakkan khilafah islamiyah. Hidayat (2012) menjelaskan: Dengan demikian, proses framing ini sebenarnya menghasilkan beberapa hal. Pertama, ia memberikan batasan ideologi sebuah gerakan serta pengemasannya guna bisa diterima atau didukung oleh khalayak. Kedua, ia menjadi acuan cara bertindak atau guideline dalam rangka mencapai tujuan.  (Hidayat, 2012: 127).
            Kemudian, secara umum menurut Benford dan Snow dalam Hidayat (2012) menyebut ini proses tesebut juga sebagai frame alignment. Dalam frame alignment, mencakup tiga tahap yakni frame bridging, frame amplification dan frame extention. Dalam gerakan HTI, yang pertama dilakukan adalah menyampaikan kondisi-kondisi keterpurukan umat islam yang tidak terlalu di sorot media. HTI dengan gamblang menggambarkan bagaimana penderitaan umat islam dewasa ini. Inilah proses frame bridging dalam gerakan HTI.
Selanjutnya, HTI menekankan bahwa ini disebabkan oleh tidak diterapkannya syariat islam secara total dalam praksis kehidupan umat islam. Inilah proses frame amplification (penekanan) dalam gerakan HTI. Terakhir, HTI melakukan frame extention (penambahan), HTI menyampaikan darurat dan mendesaknya mendirikan khilafah islamiyah sebagai satu-satunya sistem yang dapat menyangga penerapan syariat islam secara kaffah. Ketiga proses framing yang dilakukan HTI tersebut masing-masing telah menunjukkan relevansinya.

4. Kontribusi Pembangunan Demokrasi HTI di Indonesia
  Berbicara mengenai kontribusi pembangunan demokrasi di Indonesia yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia sebenarnya banyak memunculkan kontroversi. Berbagai macam persepsi ditujukan dari berbagai sudut pandang. Bila menggunakan sudut pandang dari HTI itu sendiri merupakan gerakan-gerakan sosial-politik islam di Indonesia tumbuh subur terutama didukung oleh sistem demokrasi. Bahkan, gerakan-gerakan yang bersifat radikal sekalipun dapat dengan bebas hadir ke khalayak. Termasuk juga gerakan yang bersifat protest terhadap sistem demokrasi itu sendiri.
Hizbut Tahrir Indonesia seperti organisasi gerakan sosial lain yang sejenis mengangkat wacana ketidaksetujuan terhadap demokrasi dan menawarkan solusi kembali kepada syariah dan khilafah sebagai jalan keluar. Diskursus yang diangkat ke ruang publik adalah bahwa demokrasi dan kapitalisme barat menjadi penyebab utama kesengsaraan umat islam. Ini dikarenkan sistem politik dan ekonomi itu bukan berasal dari islam, oleh karenanya harus kembali ke dalam sistem politik dan ekonomi islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa Hizbut Tahrir Indonesia telah melakukan kontribusi pembangunan demokrasi di Indonesia.
Dalam sudut pandang Negara Indonesia, jelas HTI tidak memberikan pembangunan demokrasi di Indonesia. Karena, pembangunan demokrasi di Indonesia merupakan langkah solutif untuk kemakmuran dan kesejahteraan Warga Negara Indonesia. Artinya, pembangunan tersebut harus menciptakan atau menghasilkan hal yang solutif untuk kedepannya secara jangka panjang. Realita saat ini menunjukan bahwa pembubaran HTI di Indonesia adalah akibat dari gerakan sosial-politik Hizbut Tahrir indonesia (HTI) yang bertentangan dengan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945 yang merupakan dasar hukum Indonesia. Dengan demikian gerakan HTI tidak berhasil di Indonesia. Framing strategy yang dibuat oleh HTI memang sampai pada permukaan khalayak umum di Indonesia, akan tetapi gerakan tersebut tidak lah berhasil karena tuntutan yang diberikan melalui framing tersebut tidak serta merta dipenuhi secara utuh oleh Indonesia. Nyatanya, saat ini HTI telah dibubarkan.

DAFTAR PUSTAKA

Dadi, Hidayat. 2012. Gerakan Dakwah Salafi di Indonesia pada Era Reformasi. Jurnal Sosiologi Masyarakat Lab Sosio Universitas Indonesia. Vol.17, No.2, Juli 2012. Diakses melalui (http://journal.ac.id/index.php/jsm/article/view/3738/2977). Pada tanggal 27 Juni 2017.
Haryanto, Hairini dan Abu Bakar. 2013. PKBI: Aktor Intermediary dan Gerakan Sosial Baru. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Vol.16, No.3, Maret 2013. Diakses melalui (http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/295/292). Pada tanggal 28 Juni 2017.
Muluk, Hamdi. 2012. Mozaik Psikologi Politik Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Porta, Donatella dan Mario Diani. 2006. Social Movement, an Introduction (2nd.). Victoria, Malden, Oxford: Blackwell Publishing.
Setiadi, Elly M dan Usman Kolip. 2013. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana.


No comments:

Post a Comment

Tentukan Sendiri Definisi Cantikmu

  Mereka bilang kamu cantik; “andai badanmu lebih langsing lagi, lemak di perutmu masih menggelambir, kamu wajib diet, potong jatah makanmu,...