Tulisan ini dibuat sebagai tanggapan atas tulisan Ketua Umum PB HMI dengan judul “Tidak Ada Keraguan didalam Al-qur’an; Poligami Bukan Perbuatan Menyakiti Perempuan” yang saya baca di wesbsite kohatipb.org.
Pertama, selain banyak typo -dimulai dari judul saja-, sulit bagi saya untuk memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan Ketua Umum KOHATI PB dalam tulisannya tersebut. Awalnya saya mengira akan menemukan tulisan ilmiah dengan banyak referensi dalil dan tafsir yang dijadikan rujukan atau sebuah data yang menyokong argumentasinya.
Tentu saja, selain hanya judulnya yang sangat heboh, kedua hal yang saya harapkan di atas tak saya temukan. Tidak sampai di sana, dari lima paragraf yang ditulis, pendapat Ketua Umum KOHATI PB soal Poligami hanya saya temukan pada dua paragraf terakhir.
Saya menangkap tulisan tersebut dibuat guna merespon statment Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia, Grace Natalie yang beberapa waktu lalu mengeluarkan sikap resmi politik partainya dengan menolak praktik poligami. Sikap politik tersebut kemudian didukung dengan dikeluarkannya larangan bagi setiap pengurus dan kader PSI untuk berpoligami. Sikap politik PSI ini pun seketika mendapat attention tinggi, karena selain sangat berani juga tidak populis.
Sebagai pemangku tertinggi organisasi perempuan di HMI, sah-sah saja merespon sikap politik partai baru yang akan ikut pemilu tersebut, tapi sebagai ketua umum organisasi berlabel mahasiswa, kaidah ilmiah sebagai cerminan intelektualitas tentu menjadi kewajiban, apalagi itu disampaikan ke ruang publik.
Alih-alih menjadikan tulisan itu sebagai gosip-gosip murahan di sosial media, saya tertarik untuk menilisik argumentasi yang menarik dalam tulisan Ketum Kohati PB HMI ini. Pada paragraf ketiga ia menulis “…Jadi kalau Grace natalie mengatakan akan mengusulkan larangan perbuatan poligami, itu artinya Grace akan membuat kekacauan di Negara ini…”. Saya sebagai pembaca butuh penjelasan lebih jauh, perihal apa yang dimaksud dengan kalimat “membuat kekacauan di Negara ini?”. Apalagi, dengan lanjutan kalimatnya “…kita sangat memahami bahwa jumlah perempuan diIndonesia tidak sedikit. Artinya adalah pemilih perempuan di April 2019 nanti tidak sedikit…”. Pada paragraf ketiga ini, saya mengira juga sangat bermasalah – kalau ‘sesat pikir’ terdengar kasar.
Menurut pembacaan saya tulisan tersebut mengundang begitu banyak pertanyaan, apa yang menjadi salah dengan sekadar mengusulkan larangan perbuatan poligami? Bahkan oleh partai yang lulus dalam Pemilu saja belum bisa dipastikan. Kekacauan seperti apa yang bisa dihasilkan karenanya? Lantas jika jumlah perempuan di Indonesia ini tidak sedikit lalu praktek poligami akan berkembang pesat, massif dan terstruktur?
Maka setelah menamatkan membaca tulisan Ketum KOHATI PB tersebut, saya berkesimpulan yang bersangkutan hendak mengatakan bahwa Poligami itu ajaran Islam karena ada dalam Al-qur’an, ketika sekelompok orang menolak poligami dengan alasan sosio-kultural maka ia sedang meragukan keabsahan Alqur’an, maka disebutlah poligami bukan perbuatan menyakiti perempuan. Tapi sungguh, saya berharap kesimpulan saya ini keliru.
Baiklah, pembaca yang budiman, mari kita sejenak berselancar sedikit saja soal poligami yang saya kira isunya sama seksinya dengan isu buruh kala musim pemilu tiba. Bahwa poligami ini kemudian menyisakan persoalan betul adanya. Persoalan yang terus diperdebatkan. Sama halnya dengan penggunaan jilbab, perdebatan soal poligami juga tak pernah tuntas.
Husein Muhammad dalam bukunya dengan judul “IJTIHAD KYAI HUSEIN; Upaya Membangun Keadilan Gender” mengungkapkan ada tiga pandangan terkait poligami yang dihasilkan dari banyaknya perdebatan. Pertama,pandangan yang membolehkan poligami secara longgar. Penganut pandangan ini beranggapan poligami sebagai sunnah, karena mengikuti perilaku Nabi Muhammad SAW. Kedua, Pandangan yang memperbolehkan poligami dengan cukup ketat karena menitikberatkan pada syarat kedilan formal-distributif. Ketiga,pandangan yang melarang poligami secara mutlak.
Pandangan yang diungkapkan Kyai Husein tersebut mengisyaratkan, bahwa pandangan para ahli tafsir dan pemuka agama tak pernah tunggal memandang poligami. Selain itu sekonyong-konyongmenganggap bahwa poligami adalah ajaran Islam juga “bermasalah”. Seperti yang selama ini kita ketahui dari berbagai sumber, bahwa sebelum Islam datang keberadaan perempuan tak ada artinya. Laki-laki menjadi satu-satunya pemegang kuasa atas kehidupan di dunia, hal tersebut dibuktikan dengan sah-sah saja laki-laki menikahi sebanyak mungkin perempuan untuk dijadikan istri, sekali lagi sebanyak mungkin alias tak terbatas.
Dalam konteks inilah kemudian Islam hadir dan Alqur’an dalam surat An Nisa’:3 [Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja] turun bukan sekedar untuk mengkiritk kondisi saat itu tapi juga melakukan perubahan yang cukup revolusioner pada zamannya. Yakni, dengan membatasi jumlah yang tak terbatas tersebut menjadi empat.
Dibandingkan dengan terus menyebutnya sebagai ayat yang mendukung poligami, saya lebih sepakat dengan menyebutnya sebagai ayat monogami, karena juga ada kelanjutan dari ayat tersebut yang oleh beberapa orang kerap kali diabaikan, soal kewajiban laki-laki untuk bersikap adil. Pertanyaan selanjutnya, lalu adil yang bagaimana yang dimaksud? yang pada praktiknya masih sangat banyak laki-laki yang berpoligami tanpa seijin istri pertamanya, ada pula istri yang mengijinkan karena tekanan atau ancaman yang diterimanya. Jika sudah begini, apakah itu masih tidak menyengsarakan perempuan? padahal lelaki sholeh ini mengaku menjadikan Rasullulah sebagai teladan, padahal sang Rasul terkenal dengan kelemah lembutannya kepada istrinya.
Selain itu, jika kita menganggap bahwa poligami adalah ajaran Islam, adakah ayat atau referensi yang menjelaskan bahwa Islam menganjurkan atau bahkan menginisiasi poligami?
Poligami merupakan praktik pernikahan yang hadir jauh sebelum Islam datang, seperti yang dikutip Kyai Husein Muhammad di bukunya “IJTIHAD KYAI HUSEIN; Upaya Membangun Keadilan Gender” dari Muhammad Thalib dalam bukunya “Tuntunan Poligami dan Keutamaannya” bahwa peradaban poligami sesungguhnya bercokol bukan hanya di wilayah Jazirah Arabia, tetapi juga dalam banyak peradaban kuno lainnya seperti di Mesopotamia dan Mediterania, dan juga dibelahan dunia lainnya.
Mencurigai apa yang disampaikan Grace Natalie soal sikap partainya sebagai strategi meraup suara pemilih perempuan semata saya kira boleh-boleh saja, tapi untuk berkesimpulan bahwa poligami bukan perbuatan menyakiti perempuan juga sangatlah gegabah dan tak berdasar. Mari kita tengok Data Catatan Tahunan 2017 Komnas Perempuan, yang berhasil menginput penyebab perceraian menurut kategorisasi Pengadilan Agama. Ada 335.026 kasus perceraian yang diterima, sebanyak 1596 adalah kasus poligami. Belum lagi dari kasus kekerasan di ranah privat, 5167 adalah kekerasan terhadap istri (53.7%).
Tanpa sedikitpun bermaksud membela sikap politik PSI terkait isu perempuan, saya kira dalam rangka kontestasi politik semua yang dilakukan PSI halal hukumnya dalam politik. PSI sebagai partai politik baru yang akan ikut pemilu 2019, sadar betul bahwa ia butuh sesuatu yang segar dan isu lain untuk menaikkan pamor dan membuat sorotan kamera pada partainya. Pertanyaannya, apakah kemudian itu hanya jargon politik toksaja? Statment Grace Natalie yang juga berjanji akan memperjuangkan revisi atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 juga patut digaris bawahi. Seandainya pun partai mereka lolos nanti, kita bisa lihat sejauh mana komitmen mereka.
Meskipun PSI harusnya juga melihat terkait isu perempuan, secara mendesak kita perlu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera di sahkan. Lalu di mana posisi PSI? Saya kira PSI perlu mengurangi strateginya jika hanya untuk perbanyak “jargon” tapi nihil kontribusi. Dengan banyaknya kasus yang menjadikan perempuan sebagai korban, PSI tak perlu menunggu untuk lolos pemilu dulu untuk membuktikan komitmennya sebagai yang katanya “partai perempuan”.
Statment Ketum KOHATI PB yang menuliskan “jika dengan mengusulkan larangan poligami maka bisa terjadi kekacauan di negeri ini” jelas sesat dan sangat berlebihan. Pada beberapa negara, ada UU Keluarga yang secara khusus membahas poligami dengan substansi hukum yang beragam. UU keluarga Tunisia tahun 1959 melangkah lebih maju dengan menghapuskan poligami yang secara tegas pada pasal 18 UU ini menyatakan bahwa poligami dilarang (Kyai Husein Muhammad;Ijtihad Kyai Husein, 2011).
Terakhir, pemilu 2019 memang membuat tensi politik semakin tinggi, bahkan di media sekalipun. Para politisi berbaris mengantri sorot kamera sampai kadang kebodohannya pun dipertontonkan. Adalah wajib hukumnya sebagai insan akademis yang melabeli HMI dan KOHATI pada khususnya untuk senantiasa ada pada garda terdepan menjaga kewarasan, pun dengan cara-cara yang bisa dipertanggungjawabkan secara intelektual.