Dua pasangan Calon, Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno, diuji Visi, misi dan program mereka dalam debat perdana. Tentu saja debat perdana sangat menyedot perhatian khalayak karena kampanye yang sudah berlangsung sejak 23 September 2018.
Saya tidak akan mengulas substansi apa yang disampaikan dua pasangan calon tersebut, namun menurut saya perlu bagi kita untuk mengulik makna strategis debat Capres kali ini.
Pengaruh debat
Debat memiliki efek langsung dan lanjutan. Efek langsungnya ialah publik menjadi tahu visi, misi, dan program para kandidat meskipun bisa jadi tidak terlalu mendalam. Efek lanjutannya ialah membangun persepsi positif atau negatif tentang paslon.
Selama debat, publik melihat cara setiap paslon menyampaikan pesan dan membangun kesan. Pesan hubungannya dengan visi, misi, dan program yang harus dikemas melalui bahasa yang tepat, artikulatif, efektif, dan memiliki benang merah.
Sementara itu, kesan dibangun untuk menunjukkan kredibilitas, komitmen, dan kepedulian paslon dalam membawa perubahan Indonesia di masa mendatang. Selain persepsi, efek lanjutan lainnya yang akan muncul dari debat ialah tindakan atau perilaku memilih.
Saat ini pemilih memang terpola menjadi tiga, yakni pendukung (strong voters) Jokowi-Ma'ruf Amin, pendukung Prabowo-Sandiaga Uno, dan kelompok yang belum berkomitmen, yang terdiri dari mereka yang belum menentukan pilihan (undecided voters), dan pemilih yang mengambang atau masih bimbang (swing voters).
Debat sulit memengaruhi kelompok yang sudah ajek memutuskan pilihan pada salah satu paslon, tetapi masih sangat mungkin memengaruhi kelompok yang belum berkomitmen memilih salah satu dari dua paslon yang bertarung.
Strategi komunikasi di panggung debat, termasuk wawasan para capres akan dilihat dan didengar khalayak sehingga sangat mungkin bisa menaikkan atau menurunkan tingkat elektabilitas capres/cawapres. Indikator debat yang diperhatikan publik ialah retorika para capres. Retorika sebagai seni berbicara akan memberi kesan kemampuan kandidat dalam menangani persoalan substantif yang mereka janjikan.
Rasionalitas
Selain retorika, indikator lain yang akan dinilai khalayak tentu saja ialah rasionalitas. Dalam konteks ini, diperlukan skema berpikir yang logis, proporsional, analitis, dan berbasis data. Debat harus berorientasi pada penyelesaian masalah. Hal pertama yang harus dibangun ialah meyakinkan publik mengenai basis orientasi rasionalitas dari para capres dalam berpolitik.
Merujuk pada tradisi neo-Weberian, rasionalitas terbagi ke dalam rasionalitas substantif dan rasionalitas instrumental. Rasionalitas substantif menghayati keterlibatan politik sebagai bagian pelaksanaan prinsip, keyakinan, atau idealisme tertentu. Berpolitik menjadi bagian integral identitas luhur dirinya yang tak bisa begitu saja dikorbankan menjadi sekadar instrumen reproduksi.
Dengan demikian, nilai-nilai demokrasi berwujud sebagai cara sekaligus tujuan. Di lain pihak, terdapat rasionalitas instrumental yang memahami aktivitas berpolitik lebih sebagai pragmatisme memperoleh atau mempertahankan kekuasaan.
Karena itu, bangunan rasionalitas ini lebih mendasarkan diri pada kalkulasi, taktik, strategi, kontrol, dan dominasi untuk menghasilkan pengaruh yang efektif. Prioritasnya hasil maksimal ialah kemenangan kontestasi meski harus mencederai prinsip-prinsip demokrasi dan menjatuhkan pihak lain.
Kedua rasionalitas tersebut tidaklah dikotomis (dualism), tetapi berada dalam suatu kontinum. Masing-masing ada secara bersama. Namun, kadar pengaruhnya berbeda-beda, bergantung pada pilihan para capres yang bertarung. Tentu saja, dalam debat tersebut, para capres harus mampu menunjukkan kepada khalayak bahwa kadar rasionalitas substantifnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasionalitas instrumental yang ada pada dia.
Potensi emansipatoris dari rasionalitas itu, oleh Jurgen Habermas, disebut sebagai rasionalitas komunikatif. Dalam debat, seluruh jargon besar sloganistis yang elitis seperti selama ini banyak dikemukakan mereka sudah harus beralih menjadi indikator-indikator nyata yang bisa diraba. Debat harus mampu menghadirkan apa dan bagaimana program tiap capres dalam mengurai benang kusut pengelolaan negeri ini lima tahun ke depan.
Hal lain yang menjadi makna strategis debat capres/cawapres ini tentu saja harus menjadi sinyal kuat untuk terus mengajak pemilih agar berkesadaran datang ke TPS dan menyalurkan pilihannya.
Pemilu itu sangat terhubung erat dengan harapan. Jika harapan tidak mengemuka akan menguatkan gejala disonansi kognitif, dampaknya akan semakin banyak pemilih yang bimbang dan yang belum menentukan pilihan masuk ke barisan kelompok golput.
Menurut Leon Festinger dalam buku lawasnya, A Theory of Cognitive Dissonance (1957), disonansi kognitif dimaknai sebagai perasaan ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan sikap, pemikiran, dan perilaku yang tidak konsisten dan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut.
Bisa jadi cara mengurangi ketidaknyamanan tadi dengan tidak menyalurkan hak politiknya di TPS jika para pasangan calon tidak memberi harapan. Debat perdana ini harus mampu membentuk atmosfer politik harapan, bukan meneguhkan politik ketakutan. Dari debat kita berharap muncul dialektika cerdas, bukan sekadar seremonial yang formalitas.
Thursday, January 17, 2019
Monday, January 14, 2019
Perempuan dalam Lembah Prostitusi
Sejak Sabtu (5/01/2019), dunia hiburan Indonesia kembali dikejutkan dengan adanya pemberitaan penangkapan aktris peran Vanessa Angel di salah satu hotel di Surabaya, Jawa Timur pukul 12:30 WIB. Penangkapan ini disebabkan karena sang aktris terlibat sebagai korban dalam bisnis empuk prostitusi online.
Beriringan dengan maraknya pemberitaan tersebut pada portal media online, opini publik sontak seperti mengalami erupsi luar biasa dengan komentar negatif di berbagai kalangan. Tua, muda, laki-laki, Perempuan memberikan bentuk respon penyudutan terhadap aktris yang dikenal melalui perannya di berbagai Film Televisi (FTV) di salah satu stasiun televisi swasta.
Sekiranya wajar saja publik menghakimi (VA), karena hampir semua pemberitaan di media menyuguhkan sisi gelap perempuan yang tahun ini genap berusia 28 tahun, sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) tingkat kakap dengan bandrol 80jt, (katanya).
Publik dibuat gagal fokus oleh media. Bukannya memberi informasi terkait seluk beluk lembah prostitusi, kiat-kiat menghindari prostitusi, atau edukasi menghadapi korban prostitusi, justru media asyik mengorek-ngorek kehidupan pribadi VA yang kini menjadi sarapan, makan siang, makan malam, bahkan kudapan publik. Mulai dari fakta tentang penangkapannya, sepak terjangnya di dunia peran, sampai deretan mantan kekasihnya, hingga maksud di balik instastory miliknya sebelum penangkapan. Hampir semua pencitraan yang dilakukan oleh korban prostitusi ini, kini menuai cacian dan sindiran, seperti ungkapan instastory miliknya “Menjemput rezeki di awal tahun 2019” kini malah menjadi bahan lawakan di berbagai media sosial.
Dalam kasus prostitusi seperti ini, kini media tidak lagi hanya berfungsi sebagai pemberi informasi, pendidik, maupun penghibur, melainkan ada sisi lain yang mungkin dilihat lebih tajam oleh para penggiat media dan Feminisme, di mana kini media massa justru berfungsi sebagai wadah tumbuh dan berkembangnya stigma negatif mengenai sisi gelap keperempuanan khususnya dalam lembah prostitusi, bahkan ketika kita mengetik di situs pencarian Google mengenai “Perempuan dan Prostitusi” informasi yang keluar hampir 90% pemberitaan mengenai VA yang terlibat dalam kasus prostitusi. Nyaris tak ada informasi serta edukasi yang hakiki mengenai hakikat dari prostitusi itu sendiri serta bagaimana memperlakukan korban prostitusi. Sehingga, yang hari ini publik pahami adalah perempuan dalam lembah prostitusi sama dengan common enemy.Padahal sebenarnya kasus prostitusi maupun pelacuran, tidak hanya dilakukan oleh wanita, tak jarang pria ikut menjual tubuhnya demi mendapatkan keuntungan. Istilah laki-laki pendamping, Gigolo, anak laki-laki sewaan, pemijat pria plus-plus, hampir tidak pernah diberitakan media.
Kata prostitusi berasal dari kata latin‘prostitution (em)’, kemudian diintrodusir ke bahasa Inggris menjadi ‘prostitution‘, dan menjadi prostitusi dalam bahasa Indonesia. Dalam tulisan ‘Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Kehidupan Prostitusi di Indonesia’, oleh Syamsudin, diartikan bahwa menurut istilah prostitusi diartikan sebagai pekerja yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah sesuai apa yang disepakati sebelumnya.
Prostitusi atau pelacuran telah muncul jauh sebelum peradaban modern menyentuh kehidupan manusia. Prostitusi diyakini muncul karena adanya pembagian peran laki-laki dan perempuan yang sudah muncul pada masyarakat primitif. Jauh sebelum adanya peradaban modern, tugas perempuan diarahkan untuk melayani kebutuhan seks laki-laki, bahkan sampai sekarang masih banyak yang meyakini hal tersebut.
Dalam buku karangan Kondar Siregar mengenai “Model Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu” menyebutkan bahwa Antropolog melihat pelacuran tidak lepas dari peninggalan masyarakat primitif yang berpola matriarkhi. Sedangkan, kaum feminis memandang pelacuran adalah akibat dari kuatnya sistem patriarkhi. Sementara, kaum Marxis melihat pelacuran sebagai akibat yang niscaya dari perkembangan kapitalisme.
Dalam setiap prostitusi, pada dasarnya pihak yang terlibat terdiri dari laki-laki dan perempuan. Laki-laki bisa terlibat sebagai pengguna jasa prostitusi, perantara, Mucikari, dll. Namun, hampir di sebagian besar media, terutama dalam membuat judul berita, selalu saja perempuan yang ditampilkan, sehingga terbentuk sebuah paradigma pada masyarakat bahwa dalam kasus prostitusi yang salah adalah perempuan dan para PSK selalu diberi stigma negatif seperti tidak bermoral sampai diberi cap jauh dari agama, dan lain sebagainya, sungguh disini setiap manusia menjadi begitu Maha Benar.
Selain memberikan paradigma dan stigma negatif sebagai dampak dari pemberitaan prostitusi oleh media yang cenderung menyudutkan perempuan pada kasus prostitusi, tak jarang menimbulkan perlakuan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, terutama bagi perempuan yang menggunakan pakaian terbuka atau sering pulang malam, terlebih jika diketahui perempuan tersebut adalah PSK. Padahal, para PSK justru memerlukan pertolongan atas posisi sosial dan ekonominya yang amat rentan. Seharusnya, media mampu menjadi sarana untuk membentuk sebuah paradigma di masyarakat bahwa PSK layak diberikan tempat di masyarakat, karena bagaimanapun juga mereka adalah manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi.
Pembingkaian media (media framing) memposisikan pemerintah seolah-olah kehabisan tenaga, biaya, bahkan akal untuk mengatasi persoalan PSK. Pemerintah mengatasi persoalan PSK ini melalui aksi-aksi polisionil (penertiban dan razia) yang akhirnya tidak memposisikan perempuan sebagai korban eksploitasi seksual, melainkan sebagai pelaku kriminal.
Wallahu A’lam bagaimana penilaian Tuhan terhadap umatnya yang terjebak dalam lembah prostitusi, biarkan itu menjadi kuasa-Nya. Sesama hamba-Nya yang masih asyik menikmati suguhan maksiat dalam beragam bentuknya, hendaklah untuk mengurangi hardikan dalam bentuk lisan maupun tulisan terhadap mereka yang juga luka hatinya.
Beriringan dengan maraknya pemberitaan tersebut pada portal media online, opini publik sontak seperti mengalami erupsi luar biasa dengan komentar negatif di berbagai kalangan. Tua, muda, laki-laki, Perempuan memberikan bentuk respon penyudutan terhadap aktris yang dikenal melalui perannya di berbagai Film Televisi (FTV) di salah satu stasiun televisi swasta.
Sekiranya wajar saja publik menghakimi (VA), karena hampir semua pemberitaan di media menyuguhkan sisi gelap perempuan yang tahun ini genap berusia 28 tahun, sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) tingkat kakap dengan bandrol 80jt, (katanya).
Publik dibuat gagal fokus oleh media. Bukannya memberi informasi terkait seluk beluk lembah prostitusi, kiat-kiat menghindari prostitusi, atau edukasi menghadapi korban prostitusi, justru media asyik mengorek-ngorek kehidupan pribadi VA yang kini menjadi sarapan, makan siang, makan malam, bahkan kudapan publik. Mulai dari fakta tentang penangkapannya, sepak terjangnya di dunia peran, sampai deretan mantan kekasihnya, hingga maksud di balik instastory miliknya sebelum penangkapan. Hampir semua pencitraan yang dilakukan oleh korban prostitusi ini, kini menuai cacian dan sindiran, seperti ungkapan instastory miliknya “Menjemput rezeki di awal tahun 2019” kini malah menjadi bahan lawakan di berbagai media sosial.
Dalam kasus prostitusi seperti ini, kini media tidak lagi hanya berfungsi sebagai pemberi informasi, pendidik, maupun penghibur, melainkan ada sisi lain yang mungkin dilihat lebih tajam oleh para penggiat media dan Feminisme, di mana kini media massa justru berfungsi sebagai wadah tumbuh dan berkembangnya stigma negatif mengenai sisi gelap keperempuanan khususnya dalam lembah prostitusi, bahkan ketika kita mengetik di situs pencarian Google mengenai “Perempuan dan Prostitusi” informasi yang keluar hampir 90% pemberitaan mengenai VA yang terlibat dalam kasus prostitusi. Nyaris tak ada informasi serta edukasi yang hakiki mengenai hakikat dari prostitusi itu sendiri serta bagaimana memperlakukan korban prostitusi. Sehingga, yang hari ini publik pahami adalah perempuan dalam lembah prostitusi sama dengan common enemy.Padahal sebenarnya kasus prostitusi maupun pelacuran, tidak hanya dilakukan oleh wanita, tak jarang pria ikut menjual tubuhnya demi mendapatkan keuntungan. Istilah laki-laki pendamping, Gigolo, anak laki-laki sewaan, pemijat pria plus-plus, hampir tidak pernah diberitakan media.
Kata prostitusi berasal dari kata latin‘prostitution (em)’, kemudian diintrodusir ke bahasa Inggris menjadi ‘prostitution‘, dan menjadi prostitusi dalam bahasa Indonesia. Dalam tulisan ‘Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Kehidupan Prostitusi di Indonesia’, oleh Syamsudin, diartikan bahwa menurut istilah prostitusi diartikan sebagai pekerja yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah sesuai apa yang disepakati sebelumnya.
Prostitusi atau pelacuran telah muncul jauh sebelum peradaban modern menyentuh kehidupan manusia. Prostitusi diyakini muncul karena adanya pembagian peran laki-laki dan perempuan yang sudah muncul pada masyarakat primitif. Jauh sebelum adanya peradaban modern, tugas perempuan diarahkan untuk melayani kebutuhan seks laki-laki, bahkan sampai sekarang masih banyak yang meyakini hal tersebut.
Dalam buku karangan Kondar Siregar mengenai “Model Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu” menyebutkan bahwa Antropolog melihat pelacuran tidak lepas dari peninggalan masyarakat primitif yang berpola matriarkhi. Sedangkan, kaum feminis memandang pelacuran adalah akibat dari kuatnya sistem patriarkhi. Sementara, kaum Marxis melihat pelacuran sebagai akibat yang niscaya dari perkembangan kapitalisme.
Dalam setiap prostitusi, pada dasarnya pihak yang terlibat terdiri dari laki-laki dan perempuan. Laki-laki bisa terlibat sebagai pengguna jasa prostitusi, perantara, Mucikari, dll. Namun, hampir di sebagian besar media, terutama dalam membuat judul berita, selalu saja perempuan yang ditampilkan, sehingga terbentuk sebuah paradigma pada masyarakat bahwa dalam kasus prostitusi yang salah adalah perempuan dan para PSK selalu diberi stigma negatif seperti tidak bermoral sampai diberi cap jauh dari agama, dan lain sebagainya, sungguh disini setiap manusia menjadi begitu Maha Benar.
Selain memberikan paradigma dan stigma negatif sebagai dampak dari pemberitaan prostitusi oleh media yang cenderung menyudutkan perempuan pada kasus prostitusi, tak jarang menimbulkan perlakuan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, terutama bagi perempuan yang menggunakan pakaian terbuka atau sering pulang malam, terlebih jika diketahui perempuan tersebut adalah PSK. Padahal, para PSK justru memerlukan pertolongan atas posisi sosial dan ekonominya yang amat rentan. Seharusnya, media mampu menjadi sarana untuk membentuk sebuah paradigma di masyarakat bahwa PSK layak diberikan tempat di masyarakat, karena bagaimanapun juga mereka adalah manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi.
Pembingkaian media (media framing) memposisikan pemerintah seolah-olah kehabisan tenaga, biaya, bahkan akal untuk mengatasi persoalan PSK. Pemerintah mengatasi persoalan PSK ini melalui aksi-aksi polisionil (penertiban dan razia) yang akhirnya tidak memposisikan perempuan sebagai korban eksploitasi seksual, melainkan sebagai pelaku kriminal.
Wallahu A’lam bagaimana penilaian Tuhan terhadap umatnya yang terjebak dalam lembah prostitusi, biarkan itu menjadi kuasa-Nya. Sesama hamba-Nya yang masih asyik menikmati suguhan maksiat dalam beragam bentuknya, hendaklah untuk mengurangi hardikan dalam bentuk lisan maupun tulisan terhadap mereka yang juga luka hatinya.
Subscribe to:
Comments (Atom)
Tentukan Sendiri Definisi Cantikmu
Mereka bilang kamu cantik; “andai badanmu lebih langsing lagi, lemak di perutmu masih menggelambir, kamu wajib diet, potong jatah makanmu,...
-
Pemuda merupakan elemen penting dalam masyarakat. Keberadaannya dapat dikatakan sebagai jembatan antara rakyat dengan penguasa...
-
“Lika Liku Kehidupan Sosial” Desa Kronjo Dualitas KKN (Pleasure dan Pressure) Program KKN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merup...
-
Diawali pada ranah konseptual, konsep frame dalam dimensi sosiologis harus berterima kasih atas kontribusi Erving Goffman. Bagi Goffma...