Beberapa kali ngisi materi analisis gender dalam sebuah
pelatihan atau diskusi biasa, biasanya yang saya temukan pertama kali adalah
penolakan.
Kebanyakan laki-laki yang menolak dengan anggapan bahwa
konsep keadilan gender ini sangat mengada-ada dan wis ora jelaslah. Perempuan
dianggap menjadi satu-satunya makhluk yang mendapat keuntungan dari konsep
keadilan gender. Perempuan, satu sisi mau diistimewakan tapi disisi lain banyak
nuntut. Kira-kira begitulah anggapan mereka yang menolak ini.
Setelah saya cek dan recek mereka ini adalah korban dari
budaya patriarki itu loh. Baik dalam keluarga maupun relasi personal.
Kita bahas bagaimana sebenarnya pola relasi personal yang
baik antara laki-laki dan perempuan, kuy?
Konsep keadilan gender kan sederhananya bagaimana kita
saling memanusiakan manusia. Sulit? oh tentu. Isu gender ini memang lebih
gampang dan enak diomongin dan didiskusiin doang kok. Aseli deh. Kalau buat
praktek? Berat. Banget.
Ketika memutuskan untuk berelasi dengan laki-laki sedari
awal biasanya saya coba untuk bagikan apa yang jadi prinsip dan nilai yang saya
anut, semuanya harus pro pada kesetaraan dan terbuka.
Berasal dari keluarga muslim yang tradisional yang cukup
fundamental dan juga “patriarki”, saya mengalami loh masa-masa dipaksa “perempuan
itu harus bisa masak”, “perempuan itu harus rapih”, “perempuan itu harus lembut
dan semacamnya”.
Dulu, mana saya paham apa itu patriarki dan gender. Dari kecil
saya dirawat oleh mama saya yang keras bukan main. Dia bilang “perempuan itu
harus mandiri, harus bisa cari uang sendiri jangan cuma nadah sama laki”. Pesan
itu yang saya ingat sampai sekarang. Gimana satu sisi mereka sangat bias dan
patriarki tapi disisi lain mereka berusaha mendobrak batas-batas yang telah
lama dilekatkan pada anak gadis. Oh iya, mereka mendukung saya dan anak-anaknya
sekolah sampai universitas. Mamake yang lulusan SD mana paham gender dan
patriarki.
Entah sejak kapan, saya mulai biasa melakukan beberapa hal
ini ketika sedang berelasi dengan lawan jenis. Menurut beberapa orang ini tak
biasa tapi ini membantu sekali agar kita terhindar dalam hubungan yang toxic.
1. Bayar pake uang sendiri pas nge-date
Saya pernah beberapa kali kena protes teman perempuan, “kok
dia gak bayarin sih”, “duh pelit ah hil, jangan”, “hari gini masih ada aja
cowok gak modal ya”. Dan banyak lagi cuap-cuap mereka yang intinya aneh kenapa
saya selalu mau keluar uang sendiri kalau lagi jalan sama gebetan.
Pertanyaannya, emang sejak kapan laki-laki harus bayarin
ongkos nge-date kita? Sejak kapan laki-laki jadi makhluk tercela? Sejak kapan
laki-laki gak boleh bokek?
Jika kita kasih standarisasi bahwa setiap laki-laki harus
bayarin pas nge-date. Maka kita perempuan sedang mengamalkan budaya patriarki
ini. iya kita sedang membuat laki-laki juga jadi korban loh.
Kalau hari ini kita memaksa laki-laki untuk selalu siap
sedia ngeluarin duit buat ongkos makan, jajan dan lain-lain, besok lusa
laki-laki akan memaksa perempuan untuk bisa masak, nyapu, ngepel dan lainnya.
Gue selalu berinisiatif untuk bayar ongkos nge-date, apakah
kemudian nanti si cowoknya gak mau, ya kita tinggal berbagi. Saya bayarin
makan cowoknya bayarin nonton misalnya.
Intinya jangan membebankan urusan ekonomi pada laki-laki.
Sederhana ya ,bayarin makan doang mah gampang. Pada
kenyataannya sulit loh. Banyak juga laki-laki yang gak mau dibayarin sama cewek.
Superioritas yang dilekatkan pada laki-laki membuat harga dirinya terluka kalau
dibayarin. Padahal itu suatu saat akan memberatkan dirinya sendiri.
Inget kampanye nikah muda beberapa waktu lalu?
Bokek? Nikah.
Bokek? Nikah.
Emang nikahnya sama mesin ATM yang gak pernah kosong wkwkwk.
Saya yakin kok, laki-laki yang open minded juga mau punya
pasangan yang selain pekerja keras juga mandiri secara ekonomi.
2. Ngomong Oy !
“Harusnya kan dia peka hil!”
“gue udah kasih kode, dia nya aja bego!”
“dia tuh gak peka!”
“gue udah kasih kode, dia nya aja bego!”
“dia tuh gak peka!”
Itu beberapa curhatan teman perempuan saya kalau mereka
berantem sama pacarnya. Begini sahabat, kalian ini mau pacaran sama cowok atau
peramal sebenarnya? Yang bisa ngerti tanpa dikasih tau atau dapat penjelasan.
Menjadi pihak yang selalu ingin dimengerti tanpa kasih
penjelasan itu juga gak fair buat laki—laki. Mari biasakan untuk ngomong maunya
apa! Kenali dan pahami diri sendiri dan bantu orang lain untuk pahami diri kita
kemudian belajarlah untuk saling memahami.
Ngomong kalau mau dimanja, ngomong kalau mau makan disana,
ngomong kalau mau dielus kepalanya, bilang kalau mau ndusel *loh, hahaha
intinya NGOMONG !
Ayolah, perlakukan partner mu sebagai manusia biasa bukan
superhero dan paranormal yang bisa tau mau kita tanpa ngomong.
Perempuan kerap dianggap inferior dan pihak yang pasif dalam
sebuah hubungan.
Saya akui untuk kita perempuan terbiasa berbicara atas apa
yang kita pikirkan dan inginkan itu sulit bukan main. Bagaimanapun perempuan
punya pengalaman khas perempuan soal bagaimana budaya patriarki telah merugikan
kita sejak lama. Direpresi ide dan gagasannya bahkan hasrat seksualnya
sekalipun salah satu warisan budaya patriarki yang perlu kita dobrak bareng-bareng.
Untuk laki-laki, jika partner perempuan mu adalah makhluk
yang biasa bilang ‘’terserah’’ untuk hal apapun tapi kemudian misuh-misuh
sendiri, ayo latih dia untuk terbiasa berargumen. Tanya pendapatnya, hargai
opininya, dengarkan ide dan gagasannya.
Untuk kita perempuan yang masih susah ngomong apa yang kita
inginkan, ayo sama-sama belajar dan kita lawan rasa takut itu ya! Kita pasti
bisa !
3. Berhentilah melakukan sesuatu dengan alasan ‘’…..saya
kan perempuan, saya kan laki-laki…..”
Intinya berhentilah jadikan alasan karena kita perempuan dank
arena kita laki-laki untuk melakukan sesuatu. Misal untuk urusan masak-memasak,
“kamu masakin aku lah, perempuan itu harus bisa masak”. Urusan antar jemput, “sayang
jemput dulu dong, kamu kok cowok gak sigap banget”. Padahal cowoknya lagi
nanggung main PUBG.
Pun urusan bayarin makan, angkat galon, urusan peka gak
peka, urusan semua lah. Prinsipnya, berelasilah dengan seseorang dengan niat
memanusiakan manusia tadi.
Misalnya, urusan masak, nyapu, ngepel yang dulu selalu
diafiliasi dengan perempuan, kan sebenarnya jikapun itu dilakukan oleh laki—laki
gak masalah toh?
Ohiya tapi untuk mengurus diri sendiri menurut saya juga
basic banget untuk kita bertahan hidup sih. Gak peduli lu punya penis atau
vagina.
Cewek gakbisa masak? Gapapa.
Cowok gakbisa nyetir? Gapapa.
Cowok gakbisa nyetir? Gapapa.
Berelasilah dengan saling mengakui kekurangan dan kelebihan
satu sama lain dan selanjutnya tentu saja untuk mengasah potensi diri satu sama
lain.
Jangan ada batasan, karena kita perempuan maka harus ini dan
itu. Karena dia laki-laki maka harus bisa ini dan itu. Suatu saat, kalau kita
terus pakai pola ini, kita akan dipaksa memenuhi standar keharusan tadi.
Jadi, kita mulai semua dengan setara dan bermartabat ya. Bisa
kan?