Wednesday, July 14, 2021

Tentukan Sendiri Definisi Cantikmu

 

Mereka bilang kamu cantik; “andai badanmu lebih langsing lagi, lemak di perutmu masih menggelambir, kamu wajib diet, potong jatah makanmu, olahraga setiap sore tapi terlalu ceking juga gak enak dipandang kamu kelihatan seperti orang sakit dan kurang gizi”.

Mereka bilang kamu cantik; “andai riasan wajahmu gak terlalu menor, cantik itu mesti terlihat natural tapi natural bukan berarti bebas dari make up nanti wajahmu pucat siapa yang mau menatap”.

Mereka bilang kamu cantik; “andai kulitmu putih eh tapi jangan terlalu putih nanti pucat seperti  mayat”. “Kamu cantik juga andai terlihat eksotis tapi jangan terlalu banyak berjemur nanti kulitmu malah cokelat kumal bahkan hitam dan sudah pasti itu gak cantik”.

Mereka bilang kamu cantik; “andai rambutmu hitam berkilau dan lurus, rambut keriting membuat wajahmu jadi terlihat bulat, kamu gak cocok rambut panjang wajahmu terlihat tenggelam eh tapi jangan dipotong terlalu pendek, rela dikira cowok? Kenapa ngga tampil trendy dengan rambut diwarnai? Eh tapi hindari warna ini atau itu yah terlalu ngejreng kayak lampu neon”.

Tampilan rambut menjadi salah satu bagian dari perempuan yang kerap mendapat perundungan. Si keriting, si gimbal, si keribo, dengan entengnya mereka memberikan julukan itu. Coba bayangkan betapa menjenuhkannya bila semua perempuan harus punya rambut yang lurus hitam dan panjang. Tak ada yang harus seragam pada penampilan kita, kita dibekali sesuatu yang seringkali lebih cantik dari yang kita duga.

Kamu yang keriting keribo atau memutuskan potongan rambut super pendek, kenapa harus terganggu dengan ekspektasi orang lain? Kekayaan ekspresi itu punya pesonanya sendiri. Toh fungsi rambut tak sekedar estetika belaka melainkan identitas yang melekat kuat, warna rambut menggambarkan kepribadian, gaya rambut menunjukkan keseharian bahkan seuntas rambut bisa mengungkapkan asal usul kita sebenarnya. Rambut bukan benar-benar mahkota apabila perempuan tidak bisa percaya diri mengekspresikannya.

Mayoritas perempuan ingin tampil cantik dan tak ada yang salah dengan itu, yang penting jangan mau didikte oleh ukuran cantik yang dibuat orang lain, ambil definisi kecantikanmu sendiri. Standar kecantikan yang tak memanusiakan kita sebagai perempuan sudah seharusnya ditinggalkan. Yang lebih penting lagi sudah saatnya kecantikan diperluas tidak hanya tentang sesuatu yang bersifat bawaan dari lahir karena itu akan membuat kecantikan semata kata benda, kecantikan seharusnya juga kata kerja.

Seseorang menjadi cantik karena tindakannya, karena perbuatannya, karena aktivitasnya. Barang siapa yang mampu berbuat baik kepada sesama, sanggup menggerakan sekitar untuk melakukan hal-hal bajik, bisa memperlihatkan kerja-kerja konkrit yang mengubah dan menggugah itulah secantik-cantiknya perempuan. Kecantikan tak semata kualitas bawaan yang melekat pada seseorang melainkan juga energy yang menyebar dan dirasakan disekelilingnya. Dengan itulah kecantikan akhirnya menjadi berdampak. Cantik itu berani punya mimpi dan ambisi tapi juga kemurahan hati dan empati. Sebab perempuan memang bukan pemandangan dan kecantikan bukan untuk diperlombakan.

Kenapa Perempuan Harus Memilih?

 

Sebagai perempuan membuat pilihan seringkali menjadi tantangan. Kerapkali kita ditanya “bekerja atau menjadi ibu rumah tangga?” seolah-olah memilih salah satu akan mengorbankan yang lainnya. Pilihan bekerja akan dilihat sebagai pilihan yang melawan kondrat, sementara pilihan menjadi ibu rumah tangga akan membuat perempuan dinilai mengorbankan bakat. Dilema dan penghakiman yang tidak pernah dialami oleh laki-laki. Kapan kita pernah mendengar seorang laki-laki ditanya “mau berkarir atau menjadi ayah yang baik?”.

Setiap kali perempuan bimbang mengambil pilihan. Orang-orang dengan gampang memvonis perempuan memang ribet. Kami bukan makhluk yang ribet juga tidak ingin ribet. Cara pandang dunia atas perempuan yang membuat kami harus berimbang lebih banyak saat harus mengambil pilihan. Jika kami kadang tampak bimbang atau ribet, percayalah itu hanyalah akibat bukan pembawaan.  Mari tegaskan satu hal, perempuan itu selalu multiperan dan semuanya hadir dengan tuntutan. Tidak ada satupun dari kita yang kekurangan pekerjaan; menjadi pengurus komite di Sekolah, aktif kegiatan pengajian di lingkungan, bekerja dari rumah dengan jam kerja fleksible dan beragam bentuk lain.

Di era digitalisasi teknologi ini perempuan bekerja dalam berbagai bentuk dan aktivitas yang bervariasi. Itu artinya jumlah perempuan yang berkarya di Negeri ini luar biasa besar. Tapi dukungan yang diberikan baik dari lingkungan maupun kebijakan seringkali tidak sepadan dengan kontribusi yang kita berikan. Ketika seorang perempuan memutuskan untuk bekerja di luar rumah, faktor-faktor yang dihadapi masih akan tetap ada bentuknya bisa macam-macam, dari mulai tradisi, norma, stereotype bahkan hukum positif.

Ada 104 Negara di dunia ini punya Undang – Undang yang mencegah perempuan bekerja di pekerjaan tertentu. 18 Negara bahkan mempunyai aturan yang memungkinkan suami mencegah istri-istri mereka bekerja. Secara global ada sekitar 2,7 Milyar perempuan yang secara hukum dilarang memiliki pekerjaan yang sama dengan laki-laki. Di Indonesia, jika dirata-rata dari 100 orang perempuan yang masuk usia produktif hanya sekitar 51 – 52 perempuan yang termasuk angkatan kerja. Bandingkan dengan laki-laki yang mencapai sekitar 83 orang. Kalaupun bekerja, perempuan dibayar lebih rendah dari laki-laki. Perempuan hanya mendapatkan gaji 77% dari apa yang diperoleh laki-laki.

Kita perlu mendorong lebih banyak lagi kebijakan yang berpihak pada perempuan bukan sekedar untuk menyesuaikan dengan tuntutan zaman tapi untuk mengembangkan potensi setiap orang, bukan sekedar untuk mendapatkan uang tetapi menjadi teladan, bukan hanya mendukung perekonomian tapi menjalankan hak asasi yang melekat disetiap orang. Ya, bukan hal yang mudah karena tekanan muncul bukan hanya dari lingkungan sekitar bahkan terdekat tapi juga keraguan dari dalam diri yang kerap membuat perempuan didera perasaan bersalah.

Apapun karya yang kita lakukan diluar peran sebagai ibu terkadang memunculkan kekhawatiran “sudahkah saya menjadi ibu yang baik?” padahal ibu yang bekerja berapapun waktunya jelas tetap ibu sepenuh waktu. Memang ada lebih banyak tantangan tapi bukan berarti kita tidak bisa merasa bahagia ketika melakukan keduanya. Bahagia dan ibu bekerja adalah kata yang sejalan maknanya, menjadi ibu dan terus berkarya adalah dua peran yang kita pilih untuk saling melengkapi bukan saling menegasi.

Perempuan tidak harus memilih, kita bisa mendapatkan keduanya, kita layak dan berhak melakukan itu tanpa diliputi kekhawatiran akan celaan dari sekitar. Wajar jika tetap ada keraguan, keputusan seorang perempuan biasanya didasari oleh pertimbangan yang lebih kompleks. Semakin kompleks situasinya kian tidak merdeka seorang perempuan mengambil sikap. Saya mungkin punya kemerdekaan, anda juga mungkin memilikinya tapi dunia tidak hanya berputar disekeliling kita, ada dunia-dunia perempuan lain yang masih serba tertutup, serba mengekang juga serba membatasi.

Tugas perempuan yang diberkahi cukup kemerdekaan adalah mendorong perempuan lain untuk lebih berani menunjukkan sikap. Ciri perempuan kuat itu adalah yang percaya diri dan berani unjuk kemampuan. Kita adalah pekerja keras dimanapun kita berada dan berusaha bahkan di lingkungan yang didominasi laki-laki. Tidak perlu didera kekhawatiran dan perasaan bersalah ketika kita berhasil menunjukkan karya. Saya percaya jika setiap perempuan memiliki dosis kemerdekaan untuk berbuat, bertindak dan berkarya maka dunia akan merasakan perubahan yang benar-benar nyata.

Tentukan Sendiri Definisi Cantikmu

  Mereka bilang kamu cantik; “andai badanmu lebih langsing lagi, lemak di perutmu masih menggelambir, kamu wajib diet, potong jatah makanmu,...