Tahun
ini kita memasuki tahun politik yang khas dengan hajatan Pemilihan Presiden
(Pilpres), di saat yang sama partai-partai politik akan mengajukan bakal calon
legislatif DPR, DPD dan DPRD yang akan
bertarung dalam pemilu mendatang.
Usai
Joko Widodo mengumumkan bahwa Ma’ruf Amin yang menjadi calon pendampingnya
dalam Pilpres 2019, banyak komentar positif maupun negatif. Tak tertinggal bahwa banyak perempuan
yang merespon ini, tentunya ini menjadi cerminan bahwa perempuan memiliki tensi
politik yang tinggi menyambut pesta demokrasi di tahun 2019 mendatang.
Perempuan
riuh dengan pertanyaan “mengapa Ma’ruf Amin sepakat digandeng oleh Joko
Widodo?” Adapula yang berkomentar, “mengapa
Sandiaga Uno meninggalkan DKI untuk naik menjadi calon Wakil Presiden mendampingi
Prabowo Subianto?” Ini menjadi isu yang terlalu patriarki apabila perempuan
hanya melihat dari sisi koalisi Partai Politik pada kontestasi Pemilu 2019.
Mengapa
tidak kita buat tanda tanya besar saja, menjadi “mengapa perempuan tidak lagi
menjadi seksi untuk dimunculkan sebagai tokoh dalam Pilpres 2019?” Mari kita
cermati, apakah kita kekurangan sumber daya politikus perempuan dalam ranah
politik sedewa itu? Atau apakah politikus perempuan hari ini justru kurang
mumpuni untuk naik dalam kontestasi Pilpres 2019 baik dari segi materi,
elektabilitas, sampai kapabilitas? Wallahua’lam ada kekurangan dibagian mana.
Tetapi, jangan sampai tensi politik yang perempuan rasakan dan munculkan di
tahun politik (khususnya Pilplres 2019) ini, menjadi terlalu gagal fokus dan
lupa menerawang dari sisi keperempuanan.
Siapapun
calon Presiden dan Wakil Presidennya, baik setuju maupun tidak sepakat, jangan
lupakan peran kita sebagai perempuan adalah meningkatkan gagasan serta
mengamati apa yang mengganjal dari kita sebagai Perempuan dalam ranah politik.
Justru jadikan tindakan affirmative 30% bangku untuk perempuan di ranah
legislatif tidak hanya menjadi tindakan prosedural bagi seluruh partai politik.
Beri suntikan positif bagi para perempuan yang memang terjun dalam ranah
politik untuk berani menjadikan partai politik sebagai instrumen kaderisasi dan juga harus berkomitmen dalam menerapkan 30% bangku tersebut guna peningkatan
kualitas kerja perempuan dan keterwujudan demokrasi.
Sehingga
kedepannya, perempuan tidak hanya menuntut wadah, melainkan perempuan
memanfaatkan semaksimal mungkin bangku 30% dalam kancah pemerintahan. Serta
gagasan mengenai kesetaraan Gender tidak lagi membahas mengenai kuantitas,
melainkan peningkatan kualitas dari dalam diri perempuan.
Sekali lagi, khususnya bagi para perempuan jangan terlalu terlena hingga gagal
fokus melihat gejolak Pilpres 2019, karena dalam dunia politik, tentu dianggap
biasa ketika Sang Nasionalis bergandengan dengan Sang Agamis. Ada tamparan
keras bagi kita para perempuan dengan kenyataan bahwa perempuan masih belum
mumpuni atau bahkan belum dipertimbangkan untuk naik dalam kontestasi tingkat
dewa luar biasa ini. mari kita telaah dan cermati, lalu intropeksi bersama.
No comments:
Post a Comment