Friday, August 3, 2018

Analisis Gerakan Sosial-politik Alumni 212






Alumni 212 sebenarnya memanfaatkan keterbukaan dalam sistem politik demokratis ini untuk membangun gerakan sosial-politik. Mereka melancarkan aksi tersebut sebagai hak asasi konstitusional yang sah. Dampak keterbukaan dan sebuah sistem politik adalah perubahan strategi gerakan sosial-politik, seperti jalur kekerasan, atau gerakan damai, atau sitting. Ini merupakan Political Opputunity Structure yang membentuk strategi gerakan sosial politik Islam Alumni 212. Berjalannya berbagai aksi selama 1 tahun ini dilakukan dengan cara yang sah dan damai.
Political Opportunity Structure yang dapat diidentifikasi adalah konteks waktu kemunculan gerakan Alumni 212. Konteks Pemilu yang terjadi di Jakarta membuat elit-elit yang terbelah untuk membantu memenangkan pemilu. Aksi bela Islam 212 dalam penuntutan kasus penistaan agama Ahok tidak mungkin terlepas dari unsur kepentingan elit politik yang terbelah. Dari belahan elit yang terjadi, sumber daya mobilisasi (resource mobilization) dimiliki oleh Alumni 212 dari elit yang di untungkan dalam gerakan alumni 212.

Penelitian Ali Ashgar secara umum menjelaskan aplikasi teori aktivisme Islam dalam melihat Indonesia,[2] ia Menjelaskan tentang watak Aktivisme Islam ditentukan dari pada kemampuan mengukur toleransi, represifitas negara, dan akses sistem politik. Toleransi Aktivisme Islam dalam hubungannya dengan negara menentukan strategi yang dipakai Aktivis Islam seperti kekerasan dalam mempengaruhi sistem politik. Selain itu, kebangkitan Aktivisme Islam  dipengaruhi oleh  ketidakmampuan elit dalam mengakomodir kepentingan politik Islam yang termarjirnalkan selama periode rezim Soeharto. Hal ini juga berdampak pada kemunculan berbagai gerakan Islam di Indonesia dari yang menggunakan strategi ekstrim sampai yang moderat. Kesimpulan dari penelitian Ashgar adalah bahwa saluran politik yang tertutup bagi masyarakat muslim memungkinkan kemunculan Aktivisme Islam yang lebih radikal dalam startegi mempengaruhi kebijakan diluar sistem yang terinstitusionalisasi. 

Selain konteks politik, konteks kebudayaan juga dipandang penting untuk dilihat dalam menganalisa gerakan Alumni 212. Dalam penelitian kebudayaan dan gerakan sosial, Muhammad Wildan[3] menjelaskan tentang budaya muslim perkotaan populer sebagai kelompok kelas menengah yang mendominasi Aksi Bela Islam berpengaruh dalam kemunculan aksi demonstrasi tersebut. Dengan meluasnya diferensiasi dan orientasi keagamaan di masyarakat muslim perkotaan yang disebabkan globalisasi dan demokratisasi, masyarakat kelas menengah Islam menjadi massa rentan terhadap arus Informasi nilai dan ideologi dapat terjerat dan ikut dalam Aksi Bela Islam. Pengaruh informasi nilai dan ideologi yang banyak mendorong gerakan tersebut adalah Islamisme. Islamisme ini terjadi dalam ruang publik yang membuat perspektif masyarakat muslim menunjukan ‘kesalehan’ mereka dalam Aksi Bela Islam.
 
Keshalehan Populer adalah budaya yang ingin menunjukan dirinya saleh dengan mengikuti kegiatan aksi keislaman. Hal ini dijadikan alat cultural framing yang dimanfaatkan oleh alumni 212 dalam membingkai isu yang berkembang di masyarakat untuk menjaring masyarakat agar ikut dalam berbagai aksi bela Islam. Dari konteks tersebut, penulis mendapatkan gambaran yang bisa dipertimbangkan dalam gerakan sosial-politik Islam alumni 212. 

2        Strategi Alumni 212 dalam Gerakan Sosial

Untuk memudahkan analisa penulis, penulis membagi dua kepentingan politik yang diperjuangkan Alumni 212 dalam pemerintahan jokowi yaitu, penuntutan kasus Ahok dan kasus Perppu Ormas. Gerakan kasus Ahok memiliki konteks Pilkada DKI dan kasus Perppu Ormas memiliki konteks perseteruan (contentious) ormas Islam dengan negara.
  
Pertama, pada kasus Ahok yang dijadikan tersangka penistaan agama pada saat aksi bela Islam 411 dan 212, Strategi yang dipakai Alumni 212 dalam menentukan posisi politik yang ditentukan political opportunity structure adalah kesempatan elit yang terbelah antara elit pendukung ahok dan elit anti-ahok. Kepentingan elit yang berorientasi pada kemenangan pilkada dimanfaatkan untuk membangun kekuatan framing dan mobilisasi sumberdaya (resource mobilization). Dalam konteks pilkada, kemungkinan partai-partai oposisi ahok seperti Gerindra dan Demokrat mendukung alumni 212 dalam gerakan tersebut. Sedangkan dalam konteks framing yang dibangun adalah untuk umat islam itu sendiri, maka mobilisasi sumber daya yang ada pun berangkat dari umat islam. Dalam masalah resource mobilization, Alumni 212 mengembangkan keorganisasian yang kuat dengan memasuki masjid-masijd secara informal untuk mengajak aksi 212. Selain menguasai ruang publik material, ruang publik maya juga dikerjakan. Seperti dijelaskan penelitian Arie Setyaningrum dan Gita Octaviani[4] membahas Kasus Bela Aksi Islam pada tahun 2016 yang menuntut Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dipenjara karena dianggap telah menista agama Islam. 

Penelitian berusaha menjelaskan keberhasilan mobilisasi dukungan massa Aksi Bela Islam melalui kampanye di media sosial. Keberhasilan ini ditentukan dengan strategi propaganda dakwah dengan memanfaatkan media sosial yang dianggap penulis sebagai Ruang Publik Muslim. Ruang Publik ini memiliki narasi pergerakan keshalehan muslim Indonesia. Selain itu, penulis juga menelaah secara langsung komunitas luar jaringan online untuk menunjukan Ruang Publik Muslim secara rill. Hal ini memberikan penjelasan kemampuan organisasi yang sudah ‘melek’ teknologi dalam memobilisasi dukungan aksi.

Selanjutnya pada masalah cultural framing yang dibangun alumni 212 dalam kasus Ahok.  Frame bahasa yang dipakai adalah bahasa Islam, seperti ayat-ayat Al-Quran, yang digunakan untuk memancing audiens untuk ikut dalam aksi bela Islam. Aksi Bela Islam menunjukan keberhasilan kemampuan Habib Rizieq dalam membangkitkan semangat massa untuk menuntut penistaan agama Ahok. Dalam penelitian Muhammad Wildan, Isu Islamisme, yaitu ideology politik islam, dimanfaatkan dengan tidak adanya nilai-nilai Islam dalam struktur kenegaraan. Masyarakat yang didominasi oleh kelas menangah yang konsevatif masuk kedalam jaringan tersebut dan ikut dalam Aksi. Selanjutnya, mereka melaksanakan aksi damai sebagai pembeda dengan aksi-aksi lainnya.

Dari Rangkaian penjelasan analisa gerakan sosial-politik islam yang menguntungkan posisi Alumni 212 berdampak pada keberhasilan alumni 212 untuk Negara mengusut kasus ahok dengan menghadirkan massa yang besar. Selanjutnya identifikasi kedekatan alumni 212 dengan berbagai partai politik terlihat dalam aksi yang mengawal prosesi pilkada.

Kedua, dalam Aksi Protes Perppu ormas, yang dimulai dari berbagai perseteruan Negara dan Ormas Islam, seperti kasus chat porno Habib Rizieq yang dianggap sebagai kriminalisasi ulama, pembubaran HTI, lalu munculnya perppu ormas. Konflik perseteruan Negara dan ormas Islam ini memiliki konteks yang jauh berbeda dengan kasus Aksi Bela Islam. Selesai dengan konteks pilkada, political opportunity dari bulan mei sampai oktober memiliki belahan elit-elit yang tidak terlalu tajam. Seperti MUI yang tidak mau bersikap, NU yang dekat dengan rezim, partai-partai koalisi pendukung pemerintah dalam penerbitan perppu ormas, serta cendikiawan muslim yang merasa perlu adanya perppu ormas. Posisi Alumni 212 yang menolak Perppu ormas hanya didukung 3 partai yaitu, Gerindra, PKS, dan PAN. Hal ini berdampak besar pada kemampuan Alumni 212 untuk menolak perppu ormas.
 
Dalam masalah Resource mobilization, sumberdaya mobilisasi memiliki permasalahan dalam tubuh internal organisasi Alumni 212 yaitu masalah presidium yang diganti dikarenakan masalah etika tuntutan aksi yang mendukung Hary Tanoe. Permasalahan internal ini berdampak pada kinerja mobilisasi aksi-aksi lanjutan Alumni 212. Selain itu, diluar konteks pilkada dukungan sumberdaya dari luar juga menjadi salah satu faktornya.

Dalam masalah Cultural Framing, ada kerancuan isu yang dibangun alumni 212 menghadapi permasalahan perppu ormas. Pertama pada isu substansial kajian, secara substasial permasalahan Perppu ormas adalah permasalahan demokrasi, sedangkan afiliasi organisasi alumni 212 seringkali menolak demokrasi, contohnya seperti HTI yang menolak demokrasi. Selain itu masalah lainnya, adalah kuatnya belahan opini pro-kontra dalam masyarakat tentang melihat masalah perppu ormas. Dalam aksinya alumni 212, menggunakan framing yang sama namun tidak efektif dengan tidak hadirnya Habib Rizieq.

Dari hal-hal yang disebutkan diatas berdampak pada pengaruh yang lemah kepada perubahan kebijakan Perppu Ormas pemerintah sehingga Perppu ormas itu tetap berjalan.
Dari analisa tersebut, Gerakan sosial-politik Islam Alumni 212 yang dipengaruhi sistem politik demokrasi yang terbuka dan pengaruh budaya Islam kontemporer. Keberhasilan aksi bela Islam tidak terlepas memanfaatkan momentum pilkada Jakarta lalu atas elit yang terbelah, mobilisasi sumberdaya yang solid secara keorganisasian, ditambah dengan framing budaya Islam yang diperkuat dengan Habib Rizieq. Penurunan gerakan sosial-politik Alumni 212 terjadi pasca aksi bela Islam dengan political opportunity yang sulit, organisasi yang terbelah, dan isu yang dibangun tidak sesuai.

3. SARAN DARI PENULIS

Pembahasan dalam tulisan ini, penulis dapat memberikan saran bagi para pembaca bahwa telah banyak gerakan sosial-politik islam yang terjadi di Indonesia tentunya ada aktor politik yang berperan dalam gerakan tersebut. Jadi, sebagai masyarakat Indonesia yang baik seharusnya jangan mudah tersulut emosi yang berdampak memecah belah masyarakat Indonesia. Maka, bagi elit politik juga seharusnya menghindari struktur kesempatan politik dengan menjadikan agama sebagai alat berpolitik.



[1] Gabriel Almond dan Sydney Verba., The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations. (Princeton, NJ: Princenton UP, 1963). Hlm. 63.

[2] Ali Ashgar, “Islam Politik dan Radikalisme Islam IndonesiaJurnal Keamanan Nasional (Volume 1 No. 2 Tahun 2015) hlm. 197-224, jurnal (online) diakses melalui http://jurnal.ubharajaya.ac.id/index.php/kamnas/article/view/23/16 pada 7 Januari 2018 pukul 23.51 WIB.
[3] Muhammad Wildan, “Aksi Damai 411-212, Kesalehan Populer, dan Identitas Muslim Perkotaan Indonesia,” Jurnal Syafii Maarif: Arus Pemikiran Islam dan Sosial, Setelah Bela Islam: Gerakan  Sosial Islam, Demokratisasi, dan Keadilan Sosial (Volume 11, No. 2, Bulan Desember Tahun 2016): hlm. 188-202, jurnal (online) diakses melalui http://digilib.uin-suka.ac.id/25472/1/Wildan_Jurnal%20MAARIF%202016%20Aksi%20Damai%20212%20%26%20Kesalehan%20Populer.pdf pada 7 Januari 2018 pukul 23.04 WIB.

[4]  Arie Setyaningrum dan Gita Octaviani, “Aksi Bela Islam dan Ruang Publik Muslim: Dari Representasi Daring ke Komunitas  Luring,” Jurnal Pemikiran Sosiologi UGM (Volume 4 No. 2, Bulan Agustus Tahun 2017): hlm. 66-87, jurnal (online) diakses melalui https://jurnal.ugm.ac.id/jps/article/download/28581/pd pada 7 Januari 2018 pukul 22.11 WIB.

No comments:

Post a Comment

Tentukan Sendiri Definisi Cantikmu

  Mereka bilang kamu cantik; “andai badanmu lebih langsing lagi, lemak di perutmu masih menggelambir, kamu wajib diet, potong jatah makanmu,...