Hari ini, Indonesia telah menggunakan sistem politik
demokrasi dalam menjalankan pemerintahan. Demokrasi mengindikasikan sebuah
partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan Politik, hal ini dikarenakan untuk
menjamin keberlangsungan demokrasi yang identik dengan kepentingan masyarakat
umum, bukan sekedar kepentingan sebagian elit atau kelompok. Untuk menopang
demokrasi tersebut, hal ini bisa ditelaah dengan tulisan Almond dan Verba dalam
bukunya The Civic Culture, yang mengidentifikasi Budaya
Politik sebagai faktor utama dalam masyarakat demokratis. Secara sederhana,
budaya aktif masyarakat dalam partisipasi politik menjamin terbangunnya
masyarakat demokratis. Namun, ekspresi partisipasi politik berlebihan akan
menimbulkan kekacauaan dalam sistem politik yang tidak mampu mengakomodir
berbagai macam kepentingan.[1]
Alumni 212 sebenarnya memanfaatkan keterbukaan dalam sistem
politik demokratis ini untuk membangun gerakan sosial-politik. Mereka
melancarkan aksi tersebut sebagai hak asasi konstitusional yang sah. Dampak
keterbukaan dan sebuah sistem politik adalah perubahan strategi gerakan
sosial-politik, seperti jalur kekerasan, atau gerakan damai, atau sitting.
Ini merupakan Political Opputunity Structure yang membentuk strategi
gerakan sosial politik Islam Alumni 212. Berjalannya berbagai aksi selama 1
tahun ini dilakukan dengan cara yang sah dan damai.
Political Opportunity Structure
yang dapat diidentifikasi adalah konteks waktu kemunculan gerakan Alumni 212.
Konteks Pemilu yang terjadi di Jakarta membuat elit-elit yang terbelah untuk
membantu memenangkan pemilu. Aksi bela Islam 212 dalam penuntutan kasus
penistaan agama Ahok tidak mungkin terlepas dari unsur kepentingan elit politik
yang terbelah. Dari belahan elit yang terjadi, sumber daya mobilisasi (resource
mobilization) dimiliki oleh Alumni 212 dari elit yang di untungkan dalam
gerakan alumni 212.
Penelitian Ali Ashgar secara umum menjelaskan aplikasi teori
aktivisme Islam dalam melihat Indonesia,[2] ia Menjelaskan tentang watak Aktivisme
Islam ditentukan dari pada kemampuan mengukur toleransi, represifitas negara,
dan akses sistem politik. Toleransi Aktivisme Islam dalam hubungannya dengan
negara menentukan strategi yang dipakai Aktivis Islam seperti kekerasan dalam
mempengaruhi sistem politik. Selain itu, kebangkitan Aktivisme Islam
dipengaruhi oleh ketidakmampuan elit dalam mengakomodir kepentingan
politik Islam yang termarjirnalkan selama periode rezim Soeharto. Hal ini juga
berdampak pada kemunculan berbagai gerakan Islam di Indonesia dari yang
menggunakan strategi ekstrim sampai yang moderat. Kesimpulan dari penelitian
Ashgar adalah bahwa saluran politik yang tertutup bagi masyarakat muslim
memungkinkan kemunculan Aktivisme Islam yang lebih radikal dalam startegi
mempengaruhi kebijakan diluar sistem yang terinstitusionalisasi.
Selain konteks politik, konteks kebudayaan juga dipandang
penting untuk dilihat dalam menganalisa gerakan Alumni 212. Dalam penelitian
kebudayaan dan gerakan sosial, Muhammad Wildan[3] menjelaskan tentang budaya muslim perkotaan
populer sebagai kelompok kelas menengah yang mendominasi Aksi Bela Islam
berpengaruh dalam kemunculan aksi demonstrasi tersebut. Dengan meluasnya
diferensiasi dan orientasi keagamaan di masyarakat muslim perkotaan yang
disebabkan globalisasi dan demokratisasi, masyarakat kelas menengah Islam
menjadi massa rentan terhadap arus Informasi nilai dan ideologi dapat terjerat
dan ikut dalam Aksi Bela Islam. Pengaruh informasi nilai dan ideologi yang
banyak mendorong gerakan tersebut adalah Islamisme. Islamisme ini terjadi dalam
ruang publik yang membuat perspektif masyarakat muslim menunjukan ‘kesalehan’
mereka dalam Aksi Bela Islam.
Keshalehan Populer adalah budaya yang ingin menunjukan
dirinya saleh dengan mengikuti kegiatan aksi keislaman. Hal ini dijadikan alat cultural
framing yang dimanfaatkan oleh alumni 212 dalam membingkai isu yang
berkembang di masyarakat untuk menjaring masyarakat agar ikut dalam berbagai
aksi bela Islam. Dari konteks tersebut, penulis mendapatkan gambaran yang bisa
dipertimbangkan dalam gerakan sosial-politik Islam alumni 212.
2 Strategi
Alumni 212 dalam Gerakan Sosial
Untuk memudahkan analisa penulis, penulis membagi dua
kepentingan politik yang diperjuangkan Alumni 212 dalam pemerintahan jokowi
yaitu, penuntutan kasus Ahok dan kasus Perppu Ormas. Gerakan kasus Ahok
memiliki konteks Pilkada DKI dan kasus Perppu Ormas memiliki konteks
perseteruan (contentious) ormas Islam dengan negara.
Pertama, pada
kasus Ahok yang dijadikan tersangka penistaan agama pada saat aksi bela Islam
411 dan 212, Strategi yang dipakai Alumni 212 dalam menentukan posisi politik
yang ditentukan political opportunity structure adalah kesempatan elit
yang terbelah antara elit pendukung ahok dan elit anti-ahok. Kepentingan elit
yang berorientasi pada kemenangan pilkada dimanfaatkan untuk membangun kekuatan
framing dan mobilisasi sumberdaya (resource mobilization). Dalam
konteks pilkada, kemungkinan partai-partai oposisi ahok seperti Gerindra dan
Demokrat mendukung alumni 212 dalam gerakan tersebut. Sedangkan dalam konteks framing
yang dibangun adalah untuk umat islam itu sendiri, maka mobilisasi sumber daya
yang ada pun berangkat dari umat islam. Dalam masalah resource mobilization,
Alumni 212 mengembangkan keorganisasian yang kuat dengan memasuki masjid-masijd
secara informal untuk mengajak aksi 212. Selain menguasai ruang publik
material, ruang publik maya juga dikerjakan. Seperti dijelaskan penelitian Arie
Setyaningrum dan Gita Octaviani[4] membahas Kasus Bela Aksi Islam pada
tahun 2016 yang menuntut Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok),
dipenjara karena dianggap telah menista agama Islam.
Penelitian berusaha menjelaskan keberhasilan mobilisasi
dukungan massa Aksi Bela Islam melalui kampanye di media sosial. Keberhasilan
ini ditentukan dengan strategi propaganda dakwah dengan memanfaatkan media
sosial yang dianggap penulis sebagai Ruang Publik Muslim. Ruang Publik ini
memiliki narasi pergerakan keshalehan muslim Indonesia. Selain itu, penulis
juga menelaah secara langsung komunitas luar jaringan online untuk
menunjukan Ruang Publik Muslim secara rill. Hal ini memberikan penjelasan
kemampuan organisasi yang sudah ‘melek’ teknologi dalam memobilisasi dukungan
aksi.
Selanjutnya pada masalah cultural framing yang
dibangun alumni 212 dalam kasus Ahok. Frame bahasa yang dipakai
adalah bahasa Islam, seperti ayat-ayat Al-Quran, yang digunakan untuk memancing
audiens untuk ikut dalam aksi bela Islam. Aksi Bela Islam menunjukan
keberhasilan kemampuan Habib Rizieq dalam membangkitkan semangat massa untuk
menuntut penistaan agama Ahok. Dalam penelitian Muhammad Wildan, Isu Islamisme,
yaitu ideology politik islam, dimanfaatkan dengan tidak adanya nilai-nilai Islam
dalam struktur kenegaraan. Masyarakat yang didominasi oleh kelas menangah yang
konsevatif masuk kedalam jaringan tersebut dan ikut dalam Aksi. Selanjutnya,
mereka melaksanakan aksi damai sebagai pembeda dengan aksi-aksi lainnya.
Dari Rangkaian penjelasan analisa gerakan sosial-politik
islam yang menguntungkan posisi Alumni 212 berdampak pada keberhasilan alumni
212 untuk Negara mengusut kasus ahok dengan menghadirkan massa yang besar.
Selanjutnya identifikasi kedekatan alumni 212 dengan berbagai partai politik
terlihat dalam aksi yang mengawal prosesi pilkada.
Kedua,
dalam Aksi Protes Perppu ormas, yang dimulai dari berbagai perseteruan Negara
dan Ormas Islam, seperti kasus chat porno Habib Rizieq yang dianggap
sebagai kriminalisasi ulama, pembubaran HTI, lalu munculnya perppu ormas.
Konflik perseteruan Negara dan ormas Islam ini memiliki konteks yang jauh
berbeda dengan kasus Aksi Bela Islam. Selesai dengan konteks pilkada, political
opportunity dari bulan mei sampai oktober memiliki belahan elit-elit yang
tidak terlalu tajam. Seperti MUI yang tidak mau bersikap, NU yang dekat dengan
rezim, partai-partai koalisi pendukung pemerintah dalam penerbitan perppu
ormas, serta cendikiawan muslim yang merasa perlu adanya perppu ormas. Posisi
Alumni 212 yang menolak Perppu ormas hanya didukung 3 partai yaitu, Gerindra,
PKS, dan PAN. Hal ini berdampak besar pada kemampuan Alumni 212 untuk menolak
perppu ormas.
Dalam masalah Resource mobilization, sumberdaya
mobilisasi memiliki permasalahan dalam tubuh internal organisasi Alumni 212
yaitu masalah presidium yang diganti dikarenakan masalah etika tuntutan aksi
yang mendukung Hary Tanoe. Permasalahan internal ini berdampak pada kinerja
mobilisasi aksi-aksi lanjutan Alumni 212. Selain itu, diluar konteks pilkada
dukungan sumberdaya dari luar juga menjadi salah satu faktornya.
Dalam masalah Cultural Framing, ada kerancuan isu
yang dibangun alumni 212 menghadapi permasalahan perppu ormas. Pertama pada isu
substansial kajian, secara substasial permasalahan Perppu ormas adalah
permasalahan demokrasi, sedangkan afiliasi organisasi alumni 212 seringkali
menolak demokrasi, contohnya seperti HTI yang menolak demokrasi. Selain itu
masalah lainnya, adalah kuatnya belahan opini pro-kontra dalam masyarakat
tentang melihat masalah perppu ormas. Dalam aksinya alumni 212, menggunakan framing
yang sama namun tidak efektif dengan tidak hadirnya Habib Rizieq.
Dari hal-hal yang disebutkan diatas berdampak pada pengaruh
yang lemah kepada perubahan kebijakan Perppu Ormas pemerintah sehingga Perppu
ormas itu tetap berjalan.
Dari analisa tersebut, Gerakan sosial-politik Islam Alumni
212 yang dipengaruhi sistem politik demokrasi yang terbuka dan pengaruh budaya
Islam kontemporer. Keberhasilan aksi bela Islam tidak terlepas memanfaatkan
momentum pilkada Jakarta lalu atas elit yang terbelah, mobilisasi sumberdaya
yang solid secara keorganisasian, ditambah dengan framing budaya Islam
yang diperkuat dengan Habib Rizieq. Penurunan gerakan sosial-politik Alumni 212
terjadi pasca aksi bela Islam dengan political opportunity yang sulit,
organisasi yang terbelah, dan isu yang dibangun tidak sesuai.
3. SARAN DARI PENULIS
Pembahasan dalam tulisan ini, penulis dapat memberikan saran
bagi para pembaca bahwa telah banyak gerakan sosial-politik islam yang terjadi
di Indonesia tentunya ada aktor politik yang berperan dalam gerakan tersebut.
Jadi, sebagai masyarakat Indonesia yang baik seharusnya jangan mudah tersulut
emosi yang berdampak memecah belah masyarakat Indonesia. Maka, bagi elit
politik juga seharusnya menghindari struktur kesempatan politik dengan
menjadikan agama sebagai alat berpolitik.
[1] Gabriel Almond dan Sydney Verba., The Civic Culture:
Political Attitudes and Democracy in Five Nations. (Princeton, NJ:
Princenton UP, 1963). Hlm. 63.
[2]
Ali Ashgar, “Islam Politik dan
Radikalisme Islam Indonesia” Jurnal Keamanan Nasional (Volume 1 No.
2 Tahun 2015) hlm. 197-224, jurnal (online) diakses melalui http://jurnal.ubharajaya.ac.id/index.php/kamnas/article/view/23/16
pada 7 Januari 2018 pukul 23.51 WIB.
[3]
Muhammad Wildan, “Aksi Damai
411-212, Kesalehan Populer, dan Identitas Muslim Perkotaan Indonesia,” Jurnal
Syafii Maarif: Arus Pemikiran Islam dan Sosial, Setelah Bela Islam:
Gerakan Sosial Islam, Demokratisasi, dan Keadilan Sosial (Volume 11,
No. 2, Bulan Desember Tahun 2016): hlm. 188-202, jurnal (online) diakses
melalui http://digilib.uin-suka.ac.id/25472/1/Wildan_Jurnal%20MAARIF%202016%20Aksi%20Damai%20212%20%26%20Kesalehan%20Populer.pdf
pada 7 Januari 2018 pukul 23.04 WIB.
[4]
Arie Setyaningrum dan
Gita Octaviani, “Aksi Bela Islam dan Ruang Publik Muslim: Dari Representasi
Daring ke Komunitas Luring,” Jurnal Pemikiran Sosiologi UGM
(Volume 4 No. 2, Bulan Agustus Tahun 2017): hlm. 66-87, jurnal (online)
diakses melalui https://jurnal.ugm.ac.id/jps/article/download/28581/pd
pada 7 Januari 2018 pukul 22.11 WIB.
No comments:
Post a Comment