Saturday, August 4, 2018

Analisis Habitus dalam Masyarakat Betawi

Tradisi Keagamaan Betawi : Tahlil dan Maulid
Melanggengkan Tradisi Maulid Dalam Prosesi Perkawinan
Adat Suku Betawi
            Suku Betawi merupakan satu dari sekian banyak kelompok etnik di Indonesia yang memegang teguh ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka, termasuk dalam prosesi perkawinan. Sama halnya dengan yang diyakini dalam agama Islam, masyarakat etnis Betawi percaya bahwa perkawinan adalah siklus hidup manusia yang harus dilaksanakan sesuai aturan al-Qur’an dan Sunnah. Salah satu aturan Islam yang sangat dipatuhi masyarakat Betawi adalah memilih pasangan dengan latar agama yang sama.
            Prosesi perkawinan adat Suku Betawi kemudian kental dengan nuansa tradisional dan agama. Sebuah perpaduan menarik antara agama dan kebudayaan dapat kita temukan pada tradisi Tahlil dan Maulid yang dilakukan sebelum pembacaan akad nikah. Pada dasarnya Maulid sama dengan beberapa upacara adat Betawi lain, seperti Nujuh Bulanan dan Akikah yang merupakan simbol dari rasa syukur atas berkah Tuhan.
            Tradisi Maulid dilakukan pada malam sebelum akad nikah dilangsungkan. Sebelum maulid dimulai, calon pengantin laki-laki akan diarak menggunakan bangsu hias dari kediamannya menuju rumah calon pengantin perempuan. Arak-arakan pengantin tersebut tentu saja diiringi oleh hadrah dan lantunan shalawat nabi. Setelah itu, acara Maulid dimulai. Lantas, bagaimana penjelasan rangkaian acara Maulid?
            Maulid sendiri adalah perayaan keluarga pra-akad nikah yang dilakukan dengan membaca riwayat Nabi Muhammad SAW yang diiringi oleh rebana maulid. Kitab-kitab maulid seperti albarzanji dan addibai dibacakan pada saat itu, terutama pada bagian Assalamualaika, Wulidulhabibu, Badat lana atau Asyrakal. Pembacaan Maulid Nabi pada masyarakat Suku Betawi sudah menjadi tradisi yang tidak hanya terbatas pada peringatan hari besar Nabi Muhammad SAW saja, tapi meluas pada tradisi pra-akad nikah, dan beberapa upacara adat lainnya.
            Tradisi Maulid sebagai bagian dari prosesi upacara perkawinan adat Betawi ternyata masih terjaga hingga hari ini, terutama pada masyarakat Betawi asli yang masih memegang teguh tradisi Islam dan kebudayaan. Tradisi ini terbukti mampu mempertahankan eksistensinya ditengah dinamika zaman yang semakin modern. Kelanggengan tradisi Maulid tentu tidak bisa dilepaskan dari upaya reproduksi kultural yang dilakukan oleh agen-agen sosial masyarakat, seperti orang tua, budayawan Betawi, dan lembaga-lembaga kebudayaan yang mendukung budaya tradisional.
            Dengan menggunakan analisis habitus, arena, praktik sosial, dan reproduksi kultural atau singkatnya seperti ini (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik Bourdieu kita akan mengerti mengapa tradisi maulid yang syarat dengan nilai-nilai Islam masih terjaga sampai hari ini. Pertama, dari sisi habitus. Bourdieu menerangkan bahwa habitus adalah produk sejarah dan kultural yang terbentuk dari praktik kolektif individu dan dilangsungkan dalam waktu yang relatif panjang. Habitus kemudian dilakukan pra-sadar oleh masyarakat, karena habitus sudah menjadi panduan individu untuk memproduksi praktik seperti hukum, peraturan, dan ideologi yang dilakukan pra-sadar oleh individu[1].
Kedua adalah arena. Dalam konteks ini, arena yang dimaksud adalah keluarga, latar sosial dimana habitus beroperasi[2]. Bourdieu menekankan arena sebagai arena perjuangan atau pertarungan di mana agen melindungi atau meningkatkan posisi mereka demi mendapatkan tempat paling menguntungkan bagi produk identitas kultural yang mereka miliki. Dalam konteks arena, orang-orang tua calon pengantin merupakan agen yang melindungi praktik sosial maulid agar terus dilangsungkan. Agen-agen kemudian bekerja keras meyakinkan calon pengantin untuk mematuhi tradisi maulid sebelum perkawinan berlangsung. Ketiga adalah modal. Dalam hal ini adalah modal simbolik yang dimiliki oleh orang-orang tua, seperti legitimasi, status, dan otoritas yang mampu mempengaruhi pihak lain untuk terus menerima tradisi maulid[3]. Dari keseluruhan aspek ini, muncullah maulid sebagai praktik sosial pada perkawinan adat Betawi yang kental dengan nuansa agama Islam.
            Keberlangsungan dan pelestarian praktik sosial maulid adalah bentuk dari reproduksi kultural yang dilakukan oleh agen-agen sosial yang sudah disebutkan di atas. Salah satu bentuk reproduksi kultural yang menyangkut langsung adat-adat perkawinan Betawi adalah dengan diselenggarakannya Jakarta Wedding Festival yang memuat rangkaian acara perkawinan tradisional Betawi. Acara-acara serupa ini berusaha menarik minat anak-anak muda Betawi untuk terus melanggengkan praktik adat perkawinan tradisional Betawi, salah satunya prosesi maulid pra-akad nikah. Eksistensi praktik maulid juga menjadi ciri di mana masyarakat Betawi masih memegang teguh nilai-nilai keislaman dalam praktik kultural mereka.


[1] Ritzer, George dan Goodman, Douglas J, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern,  Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2010, hal 449.
[2] Swartz, David, Culture And Power: The Sociology Of Pierre Bourdieu, University Of Chicago, Chicago, 1997, hal 117.

[3] Ritzer, George dan Goodman, Douglas J, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, 2010, hal 525.

No comments:

Post a Comment

Tentukan Sendiri Definisi Cantikmu

  Mereka bilang kamu cantik; “andai badanmu lebih langsing lagi, lemak di perutmu masih menggelambir, kamu wajib diet, potong jatah makanmu,...