Tradisi Keagamaan
Betawi : Tahlil dan Maulid
Melanggengkan Tradisi Maulid Dalam Prosesi
Perkawinan
Suku Betawi merupakan satu
dari sekian banyak kelompok etnik di Indonesia yang memegang teguh ajaran Islam
dalam kehidupan sehari-hari mereka, termasuk dalam prosesi perkawinan. Sama
halnya dengan yang diyakini dalam agama Islam, masyarakat etnis Betawi percaya
bahwa perkawinan adalah siklus hidup manusia yang harus dilaksanakan sesuai
aturan al-Qur’an dan Sunnah. Salah satu aturan Islam yang sangat dipatuhi
masyarakat Betawi adalah memilih pasangan dengan latar agama yang sama.
Prosesi perkawinan adat Suku Betawi kemudian kental
dengan nuansa tradisional dan agama. Sebuah perpaduan menarik antara agama dan
kebudayaan dapat kita temukan pada tradisi Tahlil dan Maulid yang dilakukan sebelum
pembacaan akad nikah. Pada dasarnya Maulid
sama dengan beberapa upacara adat Betawi lain, seperti Nujuh Bulanan dan Akikah yang
merupakan simbol dari rasa syukur atas berkah Tuhan.
Tradisi Maulid dilakukan
pada malam sebelum akad nikah dilangsungkan. Sebelum maulid dimulai, calon pengantin laki-laki akan diarak menggunakan
bangsu hias dari kediamannya menuju rumah calon pengantin perempuan.
Arak-arakan pengantin tersebut tentu saja diiringi oleh hadrah dan lantunan shalawat
nabi. Setelah itu, acara Maulid dimulai. Lantas, bagaimana
penjelasan rangkaian acara Maulid?
Maulid
sendiri
adalah perayaan keluarga pra-akad nikah yang dilakukan dengan membaca riwayat
Nabi Muhammad SAW yang diiringi oleh rebana maulid. Kitab-kitab maulid seperti albarzanji dan addibai dibacakan
pada saat itu, terutama pada bagian Assalamualaika,
Wulidulhabibu, Badat lana atau Asyrakal.
Pembacaan Maulid Nabi pada
masyarakat Suku Betawi sudah menjadi tradisi yang tidak hanya terbatas pada
peringatan hari besar Nabi Muhammad SAW saja, tapi meluas pada tradisi pra-akad
nikah, dan beberapa upacara adat lainnya.
Tradisi Maulid sebagai
bagian dari prosesi upacara perkawinan adat Betawi ternyata masih terjaga
hingga hari ini, terutama pada masyarakat Betawi asli yang masih memegang teguh
tradisi Islam dan kebudayaan. Tradisi ini terbukti mampu mempertahankan
eksistensinya ditengah dinamika zaman yang semakin modern. Kelanggengan tradisi
Maulid tentu tidak bisa dilepaskan
dari upaya reproduksi kultural yang dilakukan oleh agen-agen sosial masyarakat,
seperti orang tua, budayawan Betawi, dan lembaga-lembaga kebudayaan yang
mendukung budaya tradisional.
Dengan menggunakan analisis habitus, arena, praktik sosial, dan reproduksi kultural atau singkatnya seperti ini (Habitus x Modal) +
Ranah = Praktik Bourdieu kita akan
mengerti mengapa tradisi maulid yang
syarat dengan nilai-nilai Islam masih terjaga sampai hari ini. Pertama, dari
sisi habitus. Bourdieu menerangkan
bahwa habitus adalah produk sejarah dan kultural yang terbentuk dari praktik
kolektif individu dan dilangsungkan dalam waktu yang relatif panjang. Habitus kemudian dilakukan pra-sadar
oleh masyarakat, karena habitus sudah menjadi panduan individu untuk
memproduksi praktik seperti hukum, peraturan, dan ideologi yang dilakukan
pra-sadar oleh individu[1].
Kedua adalah arena. Dalam
konteks ini, arena yang dimaksud adalah keluarga, latar sosial dimana habitus
beroperasi[2]. Bourdieu menekankan arena
sebagai arena perjuangan atau pertarungan di mana agen melindungi atau
meningkatkan posisi mereka demi mendapatkan tempat paling menguntungkan bagi
produk identitas kultural yang mereka miliki. Dalam konteks arena, orang-orang
tua calon pengantin merupakan agen yang melindungi praktik sosial maulid agar terus dilangsungkan.
Agen-agen kemudian bekerja keras meyakinkan calon pengantin untuk mematuhi
tradisi maulid sebelum perkawinan
berlangsung. Ketiga adalah modal. Dalam hal ini adalah modal simbolik yang
dimiliki oleh orang-orang tua, seperti legitimasi, status, dan otoritas yang
mampu mempengaruhi pihak lain untuk terus menerima tradisi maulid[3]. Dari keseluruhan aspek ini,
muncullah maulid sebagai praktik
sosial pada perkawinan adat Betawi yang kental dengan nuansa agama Islam.
Keberlangsungan dan pelestarian praktik sosial maulid adalah bentuk dari reproduksi
kultural yang dilakukan oleh agen-agen sosial yang sudah disebutkan di atas.
Salah satu bentuk reproduksi kultural yang menyangkut langsung adat-adat
perkawinan Betawi adalah dengan diselenggarakannya Jakarta Wedding Festival yang memuat rangkaian acara perkawinan
tradisional Betawi. Acara-acara serupa ini berusaha menarik minat anak-anak
muda Betawi untuk terus melanggengkan praktik adat perkawinan tradisional
Betawi, salah satunya prosesi maulid
pra-akad nikah. Eksistensi praktik maulid
juga menjadi ciri di mana masyarakat Betawi masih memegang teguh
nilai-nilai keislaman dalam praktik kultural mereka.
[1] Ritzer, George dan Goodman, Douglas J, Teori
Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori
Sosial Postmodern, Kreasi Wacana,
Yogyakarta, 2010, hal 449.
[2] Swartz, David, Culture And Power: The Sociology Of
Pierre Bourdieu, University Of Chicago, Chicago, 1997, hal 117.
[3] Ritzer, George dan Goodman, Douglas J, Teori Sosiologi: Dari Teori
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, 2010,
hal 525.
No comments:
Post a Comment