Akhir - akhir ini banyak masyarakat menggunakan media sebagai hal utama
mereka dalam kehidupan sosial. Whatsapp, instagram, line dan semacamnya
digandrungi oleh banyak masyarakat. Bukan lagi komunikasi tanpa tatap
muka, semua bisa komunikasi dengan tatap muka. Alhasil apa yang
dipikirkan, dilakukan, dan dipahami pastinya berasal dari media sosial.
Namun, ada juga yang bicara jujur apa adanya melalui media sosial
miliknya. Banyak masyarakat mengungkapkan kebahagiaannya padahal hanya
untuk menutupi kesedihannya. Meluapkan kesedihannya hanya untuk mendapat
simpati dan perhatian. Menanggapi isu-isu kontemporer padahal agar
tidak dibilang ketinggalan zaman. Share liburan, makan, life style hanya
untuk ajang ria semata. Para politisi, pejabat publik juga tak
segan-segan ikut larut dalam media sosial, instagram misalnya. Lalu,
apakah itu salah? tidak. Apakah itu benar? belum tentu.
Ada suatu kejanggalan dalam benak saya bahwa mengapa masyarakat tega menghakimi, menyudutkan, melabelkan orang lain hanya dari media sosial miliknya? apakah manusia saat ini terlalu mudah untuk menjadi Tuhan. Tuhan saja bila menghakimi hamba-Nya perlu pertimbangan. Tapi bagaimana dengan manusia? Padahal hanya dari media sosial.
Bila postingan tidak sesuai dengan pemikiran subjektifnya, masyarakat katakan bahwa media sosial itu kamuflase, hoax, dll. Tapi bila sesuai, mereka sangat membenarkan postingan orang lain melalui media sosial. Bukankah sah-sah saja bila rakyat mengungkapkan suatu
pemikiran atau life style nya melalui media. Hal itu merupakan kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi. Ini Negara
demokrasi, bila masyarakatnya mengalami demokrasi yang kebablasan bisa
diproses jalur hukum. Bila tidak, Ya sudah.
Solusi yang seharusnya adalah pemecahan dampak dari media sosial yang terjadi
sehingga bisa menciptakan solusi. Bukan menghakimi dan
melabelkan seseorang, justru tidak menciptakan solusi. Adil lah dalam
berpikir.
No comments:
Post a Comment