Sunday, August 12, 2018

Optimalisasi Potensi Modal Sosial Pemuda Sebagai Agen Perubahan


            Pemuda merupakan elemen penting dalam masyarakat. Keberadaannya dapat dikatakan sebagai jembatan antara rakyat dengan penguasa. Dianggap sebagai kelompok intelek yang memiliki daya pikir kritis, inovatif serta sadar akan tanggung jawab moralnya di masyarakat. Pemuda dilegitimasi sebagai agen perubahan (agent of change). Dalam konteks historis Indonesia pun mendukung hipotesis tersebut. Masih segar di ingatan bagaimana gerakan mahasiswa dan kepemudaan tahun 98’ mampu melakukan sebuah perubahan – reformasi yang sangat dinantikan oleh rakyat yang sudah jengah dengan rezim penguasa. Meskipun telah berlalu hampir dua dekade, memori kolektif tersebut masih utuh berada dalam diri Bangsa Indonesia. Itulah kondisi ideal atau apa yang seharusnya berada dalam diri pemuda – status dan perannya sebagai agen perubahan.
            Namun, realitas menunjukkan bahwa pemuda sekarang bukanlah yang dahulu. Status dan peran yang disandangnya semakin kabur, luntur dan menyimpang. Kualitas pemuda secara individual pun secara kolektif dapat dikatakan memprihatinkan. Sudah sangat langka menemukan pemuda yang tangguh pikiran dan kesadarannya. Bangsa Indonesia kini seakan tidak mampu menghasilkan agen perubahan yang mumpuni. Darma pendidikan dan pengajaran, dan darma tanggung jawab moral yang coba ditransmisikan oleh Bangsa Indonesia seakan tidak diinternalisasi ke dalam diri pemuda. Sehingga pada praksisnya, proses tersebut tidak dapat dimaksimalkan untuk menghasilkan pemuda sebagai agen perubahan.
            Modal sosial bagi Fukuyama (2005) ialah serangkaian nilai dan norma tidak tertulis yang dipegang bersama oleh suatu kelompok sebagai pondasi kepercayaan yang memungkinkan adanya kerjasama di antara mereka. Dari situ, setidaknya ada tiga unsur yang menjadi indikator kunci dalam mengukur modal sosial: nilai dan norma, kepercayaan dan jaringan. Ketiga unsur tersebut merupakan proses pembentukkan yang saling terkait. Norma-norma di satu sisi melandasi timbulnya – pondasi kepercayaan yang diwadahi oleh sebuah jaringan sosial. Jaringan sosial dapat terbentuk ketika ada norma-norma yang mengikat dan akhirnya menciptakan kepercayan. Kepercayaan mampu melahirkan norma-norma formal dan informal bersama yang disepakati demi membangun jaringan sosial yang lebih luas. Intinya, ketiga unsur modal sosial tidak berdiri sendiri-sendiri. Mereka merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi.
            Untuk mengembalikan kondisi ideal pemuda maka diperlukan optimalisasi potensi modal sosial. Dengan kualitas modal sosial yang baik, proses menjalankan darma bakti Bangsa Indonesia yang bersinergi dengan aspek-aspek ke-ilmuan, ke-Islaman dan ke-Indonesian di Indonesia akan maksimal.
            Berangkat dari hal-hal yang telah diutarakan, saya pikir perlu adanya optimalisasi wadah pembentukan modal sosial pemuda dalam menjalankan Darma Bakti Indonesia dengan mengintegrasikan aspek ke-ilmuan, ke-Islaman dan ke-Indonesian agar berguna bagi kehidupan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa dalam mentransmisikan nilai-nilai ke-ilmuan demi meningkatkan kualitas human capital sehingga tercipta pemuda yang kritis, inovatif, kompeten dan memiliki tanggung jawab moral serta sadar akan perannya sebagai agent of change di masyarakat, yakni memiliki kiat-kiat sebagai berikut:
  •             Membentuk jaringan sosial – bekerja sama dengan instansi pemerintah maupun swasta, kelompok masyarakat dan komunitas kepemudaan di tingkat nasional.
  •         Membangun kepercayaan (Trust Building) dengan pemerintahan, komunitas kepemudaan yang bernilai positif, dan masyarakat agar pemuda tidak lagi dianggap sebagai sampah masyarakat. Membangun kepercayaan tersebut dapat dilakukan dengan menjalankan pekerjaan dibawah naungan instansi pemerintah, bergabung dengan komunitas kepemudaan yang bernilai positif seperti komunitas minat dan bakat maupun organisasi kepemudaan.
  •              Mendedikasikan diri kepada Bangsa Indonesia dengan turut serta membangun kualitas masyarakat baik dari segi pendidikan, ekonomi, politik, dan penanaman moral seperti kejujuran, gotong royong, saling menolong dan lain-lain.
Kiat-kiat yang pertama secara khusus lebih menekankan upaya membangun relasi sebagai unsur modal sosial jaringan, yang kedua dimaksudkan untuk menumbuhkan kembali kepercayan (trust building) masyarakat terhadap pemuda – unsur modal sosial kepercayaan, dan yang ketiga lebih mengoptimalkan unsur-unsur nilai dan norma di masyarakat. Selain itu, secara khusus darma bakti kepada Bangsa Indonesia baik darma pendidikan dan pengajaran, dan darma tanggung jawab moral mampu direfleksikan ketiga kiat-kiat tersebut.
Pada pokoknya baik ketiga kiat-kiat yang saya utarakan maupun yang masyarakat inginkan akan berusaha mengoptimalkan potensi modal sosial pemuda dalam membantu masyarakat Indonesia melaksanakan Darma Baktinya yang bersinergi dengan aspek ke-ilmuan, ke-Agamaan dan ke-Indonesiaan. Dengan demikian, diharapkan para pemuda mampu menghasilkan pemuda yang sadar dan paham atas fakta dan gejala permasalahan sosial serta mampu memecahkannya dengan bersandar kepada teori dan aplikasinya. Singkatnya, diharapkan Bangsa Indonesia mampu menghasilkan pemuda sebagai agen perubahan seiring dengan prediksi adanya bonus demografi di tahun mendatang.

Pilpres 2019, Perempuan Gagal Fokus


Tahun ini kita memasuki tahun politik yang khas dengan hajatan Pemilihan Presiden (Pilpres), di saat yang sama partai-partai politik akan mengajukan bakal calon legislatif  DPR, DPD dan DPRD yang akan bertarung dalam pemilu mendatang.


Usai Joko Widodo mengumumkan bahwa Ma’ruf Amin yang menjadi calon pendampingnya dalam Pilpres 2019, banyak komentar positif maupun negatif. Tak tertinggal bahwa banyak perempuan yang merespon ini, tentunya ini menjadi cerminan bahwa perempuan memiliki tensi politik yang tinggi menyambut pesta demokrasi di tahun 2019 mendatang.


Perempuan riuh dengan pertanyaan “mengapa Ma’ruf Amin sepakat digandeng oleh Joko Widodo?” Adapula yang berkomentar, mengapa Sandiaga Uno meninggalkan DKI untuk naik menjadi calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto?” Ini menjadi isu yang terlalu patriarki apabila perempuan hanya melihat dari sisi koalisi Partai Politik pada kontestasi Pemilu 2019.


Mengapa tidak kita buat tanda tanya besar saja, menjadi “mengapa perempuan tidak lagi menjadi seksi untuk dimunculkan sebagai tokoh dalam Pilpres 2019?” Mari kita cermati, apakah kita kekurangan sumber daya politikus perempuan dalam ranah politik sedewa itu? Atau apakah politikus perempuan hari ini justru kurang mumpuni untuk naik dalam kontestasi Pilpres 2019 baik dari segi materi, elektabilitas, sampai kapabilitas? Wallahua’lam ada kekurangan dibagian mana. Tetapi, jangan sampai tensi politik yang perempuan rasakan dan munculkan di tahun politik (khususnya Pilplres 2019) ini, menjadi terlalu gagal fokus dan lupa menerawang dari sisi keperempuanan.


Siapapun calon Presiden dan Wakil Presidennya, baik setuju maupun tidak sepakat, jangan lupakan peran kita sebagai perempuan adalah meningkatkan gagasan serta mengamati apa yang mengganjal dari kita sebagai Perempuan dalam ranah politik. Justru jadikan tindakan affirmative 30% bangku untuk perempuan di ranah legislatif tidak hanya menjadi tindakan prosedural bagi seluruh partai politik. Beri suntikan positif bagi para perempuan yang memang terjun dalam ranah politik untuk berani menjadikan partai politik sebagai instrumen kaderisasi dan juga harus berkomitmen dalam menerapkan 30% bangku tersebut guna peningkatan kualitas kerja perempuan dan keterwujudan demokrasi.


Sehingga kedepannya, perempuan tidak hanya menuntut wadah, melainkan perempuan memanfaatkan semaksimal mungkin bangku 30% dalam kancah pemerintahan. Serta gagasan mengenai kesetaraan Gender tidak lagi membahas mengenai kuantitas, melainkan peningkatan kualitas dari dalam diri perempuan.


Sekali lagi, khususnya bagi para perempuan jangan terlalu terlena hingga gagal fokus melihat gejolak Pilpres 2019, karena dalam dunia politik, tentu dianggap biasa ketika Sang Nasionalis bergandengan dengan Sang Agamis. Ada tamparan keras bagi kita para perempuan dengan kenyataan bahwa perempuan masih belum mumpuni atau bahkan belum dipertimbangkan untuk naik dalam kontestasi tingkat dewa luar biasa ini. mari kita telaah dan cermati, lalu intropeksi bersama.

Friday, August 10, 2018

Stop jadi Partisipan Politik yang Afektif

Siapapun yang akan jadi presiden dan wakil presiden, mereka adalah yang terpilih untuk membangun Negara menjadi lebih baik lagi. Sebetulnya, musuh kita bukanlah lawan politik yang tidak sesuai dengan pilihan kita, tapi permasalahan yang ada di Negeri inilah yang harus dilawan. 


Pertimbangan Pak Jokowi memilih KH. Ma’ruf Amin tentu saja berkaitan dengan pembenahan akhlak masyarakat yang saat ini sudah membelok demi mewujudkan revolusi mental yang diharapkan, mengingat latar belakang KH. Ma’ruf Amin yang menjabat sebagai ketua MUI yang paham mengenai dalil-dalil agama sehingga mampu diaplikasikan ke dalam suatu bentuk kebijakan pemerintahan.


Berkaca pada prestasi Pak Sandiaga Uno inilah yang bisa menjadi tolak ukur Pak Prabowo dalam memilih beliau sebagai calon Wakil Presiden. Mengingat kekayaan Indonesia yang hingga saat ini belum mencapai ekspektasi yang tinggi. Dengan pengalamanya sebagai seorang salah satu pengusaha terbaik di Indonesia yang sukses, Pak Prabowo ingin membangun atau bahkan mengembalikan kekayaan rakyat Indonesia secara merata.


Bicara mengenai Track Record, masing-masing Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden memiliki record baik dan buruk.


Pak Jokowi berhasil dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia, bahkan hingga ke tempat-tempat terpencil sekalipun. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana jalan tol mulai dibangun demi meningkatkan perekonomian di Indonesia, serta dibangunnya jalan Trans-Papua sehingga akses-akses yang berada di sana mudah untuk dilalui dan membantu perkembangan daerah tersebut jadi lebih baik lagi. Namun tentu saja, Pak Jokowi tak luput dari kesalahan. Permasalahan mengenai mobil Esemka yang bak hilang ditelan bumi, penyelesaian kasus Novel Baswedan yang tak kunjung usai dan maraknya kasus kriminalisasi Ulama dianggap sebagai record buruk Pak Jokowi.


Perihal KH. Ma’ruf Amin, terlintas dalam pikiran saya bahwa beliau sudah sepuh sekali, mengapa tak sebaiknya beliau mengurus umat lewat narasi dan mimbar keagamaan saja. Namun, beliau yang berlatar belakang sebagai Ulama dan menjabat sebagai ketua MUI pun memiliki record yang baik. Fatwa-fatwa Ulama yang telah disepakati dibawah kepemimpinannya dianggap mampu merubah pola hidup dan pola pikir masyarakat Indonesia menjadi lebih baik lagi. Salah satunya adalah Fatwa mengenai pedoman penggunaan medsos yang sangat didukung oleh banyak pihak. Tapi tetap saja akan ada pro kontra dalam hidup ini. Fatwa-fatwa lain yang telah diutarakan oleh MUI pun juga memiliki kotroversi sehingga menimbulkan perdebatan. Entah itu fatwa-fatwa mengenai BPJS yang tidak sesuai Fiqih, Fatwa rokok, atau bahkan pelarangan menggunakan kostum MU yang saat ini masih jadi polemik.


Pak Prabowo pun memiliki Track Record yang baik, entah dari segi militer maupun bidang olahraga. Kopassus dibawah kepemimpinannya, berhasil menjadi satuan-satuan elite terbaik didunia. Tahun 2014, selaku Ketua Polo Berkuda Indonesia, beliau berhasil menjadikan tim Indonesia sebagai tim terbaik Asia dan menjuarai kompetisi Internasional. Namun tentu saja, permasalahan mengenai aktivitas 98 yang tak kunjung terungkap hingga beredarnya surat pemecatan, serta permasalahan rumah tangga yang berujung perceraian membuat ia dianggap bukan sosok Calon Presiden yang berkredibilitas. 


Pak Sandiaga Uno yang merupakan lulusan George Washington University dengan IPK sempurna (4,00), mampu menjadi pengusaha yang sangat handal dan masuk jajaran pengusaha terkaya Indonesia versi majalah Forbes, dan juga penerima penghargaan “Indonesia Entrepeneur of the Year 2008” pada ajang Anterprise Asia. Namun beberapa kebijakan yang ia buat selama menjadi wakil gubernur, salah satunya yaitu OK OC dianggap masih belum merata, hingga revitalisasi Tanah Abang yang dianggap justru menimbulkan masalah baru. 


Jadi, kurang lebihnya begitu lah Track Record dari masing-masing Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.   Namun cobalah lihat ketulusan hati mereka yang ingin mengabdi kepada Bangsa dengan hati yang tulus. Siapapun yang terpilih, mereka hanyalah butuh do’a, dukungan, serta kritikan positif dalam membangun Bangsa.      Musuh Negara kita bukan hanya polemik yang terjadi hingga saat ini, tapi juga pola pikir yang berlebihan membenci seorang tokoh namun hanya mampu melihat dari rekor buruknya saja. Orang yang memiliki pemikiran seperti itu sangat mudah untuk dijadikan boneka pemecah belah Bangsa. 


Semoga kita bisa menjadi partisipan politik yang mampu menggunakan dan menjalankan demokrasi yang baik. Stop memecah belah. Satu suara itu penting, namun jangan menjadi orang sinting yang hanya mampu negative thingking. Siapapun yang terpilih, harus kita dukung, karena mereka punya niatan tulus dalam membangun Bangsa dan Negara yang diimpikan oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Saturday, August 4, 2018

Analisis Habitus dalam Masyarakat Betawi

Tradisi Keagamaan Betawi : Tahlil dan Maulid
Melanggengkan Tradisi Maulid Dalam Prosesi Perkawinan
Adat Suku Betawi
            Suku Betawi merupakan satu dari sekian banyak kelompok etnik di Indonesia yang memegang teguh ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka, termasuk dalam prosesi perkawinan. Sama halnya dengan yang diyakini dalam agama Islam, masyarakat etnis Betawi percaya bahwa perkawinan adalah siklus hidup manusia yang harus dilaksanakan sesuai aturan al-Qur’an dan Sunnah. Salah satu aturan Islam yang sangat dipatuhi masyarakat Betawi adalah memilih pasangan dengan latar agama yang sama.
            Prosesi perkawinan adat Suku Betawi kemudian kental dengan nuansa tradisional dan agama. Sebuah perpaduan menarik antara agama dan kebudayaan dapat kita temukan pada tradisi Tahlil dan Maulid yang dilakukan sebelum pembacaan akad nikah. Pada dasarnya Maulid sama dengan beberapa upacara adat Betawi lain, seperti Nujuh Bulanan dan Akikah yang merupakan simbol dari rasa syukur atas berkah Tuhan.
            Tradisi Maulid dilakukan pada malam sebelum akad nikah dilangsungkan. Sebelum maulid dimulai, calon pengantin laki-laki akan diarak menggunakan bangsu hias dari kediamannya menuju rumah calon pengantin perempuan. Arak-arakan pengantin tersebut tentu saja diiringi oleh hadrah dan lantunan shalawat nabi. Setelah itu, acara Maulid dimulai. Lantas, bagaimana penjelasan rangkaian acara Maulid?
            Maulid sendiri adalah perayaan keluarga pra-akad nikah yang dilakukan dengan membaca riwayat Nabi Muhammad SAW yang diiringi oleh rebana maulid. Kitab-kitab maulid seperti albarzanji dan addibai dibacakan pada saat itu, terutama pada bagian Assalamualaika, Wulidulhabibu, Badat lana atau Asyrakal. Pembacaan Maulid Nabi pada masyarakat Suku Betawi sudah menjadi tradisi yang tidak hanya terbatas pada peringatan hari besar Nabi Muhammad SAW saja, tapi meluas pada tradisi pra-akad nikah, dan beberapa upacara adat lainnya.
            Tradisi Maulid sebagai bagian dari prosesi upacara perkawinan adat Betawi ternyata masih terjaga hingga hari ini, terutama pada masyarakat Betawi asli yang masih memegang teguh tradisi Islam dan kebudayaan. Tradisi ini terbukti mampu mempertahankan eksistensinya ditengah dinamika zaman yang semakin modern. Kelanggengan tradisi Maulid tentu tidak bisa dilepaskan dari upaya reproduksi kultural yang dilakukan oleh agen-agen sosial masyarakat, seperti orang tua, budayawan Betawi, dan lembaga-lembaga kebudayaan yang mendukung budaya tradisional.
            Dengan menggunakan analisis habitus, arena, praktik sosial, dan reproduksi kultural atau singkatnya seperti ini (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik Bourdieu kita akan mengerti mengapa tradisi maulid yang syarat dengan nilai-nilai Islam masih terjaga sampai hari ini. Pertama, dari sisi habitus. Bourdieu menerangkan bahwa habitus adalah produk sejarah dan kultural yang terbentuk dari praktik kolektif individu dan dilangsungkan dalam waktu yang relatif panjang. Habitus kemudian dilakukan pra-sadar oleh masyarakat, karena habitus sudah menjadi panduan individu untuk memproduksi praktik seperti hukum, peraturan, dan ideologi yang dilakukan pra-sadar oleh individu[1].
Kedua adalah arena. Dalam konteks ini, arena yang dimaksud adalah keluarga, latar sosial dimana habitus beroperasi[2]. Bourdieu menekankan arena sebagai arena perjuangan atau pertarungan di mana agen melindungi atau meningkatkan posisi mereka demi mendapatkan tempat paling menguntungkan bagi produk identitas kultural yang mereka miliki. Dalam konteks arena, orang-orang tua calon pengantin merupakan agen yang melindungi praktik sosial maulid agar terus dilangsungkan. Agen-agen kemudian bekerja keras meyakinkan calon pengantin untuk mematuhi tradisi maulid sebelum perkawinan berlangsung. Ketiga adalah modal. Dalam hal ini adalah modal simbolik yang dimiliki oleh orang-orang tua, seperti legitimasi, status, dan otoritas yang mampu mempengaruhi pihak lain untuk terus menerima tradisi maulid[3]. Dari keseluruhan aspek ini, muncullah maulid sebagai praktik sosial pada perkawinan adat Betawi yang kental dengan nuansa agama Islam.
            Keberlangsungan dan pelestarian praktik sosial maulid adalah bentuk dari reproduksi kultural yang dilakukan oleh agen-agen sosial yang sudah disebutkan di atas. Salah satu bentuk reproduksi kultural yang menyangkut langsung adat-adat perkawinan Betawi adalah dengan diselenggarakannya Jakarta Wedding Festival yang memuat rangkaian acara perkawinan tradisional Betawi. Acara-acara serupa ini berusaha menarik minat anak-anak muda Betawi untuk terus melanggengkan praktik adat perkawinan tradisional Betawi, salah satunya prosesi maulid pra-akad nikah. Eksistensi praktik maulid juga menjadi ciri di mana masyarakat Betawi masih memegang teguh nilai-nilai keislaman dalam praktik kultural mereka.


[1] Ritzer, George dan Goodman, Douglas J, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern,  Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2010, hal 449.
[2] Swartz, David, Culture And Power: The Sociology Of Pierre Bourdieu, University Of Chicago, Chicago, 1997, hal 117.

[3] Ritzer, George dan Goodman, Douglas J, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, 2010, hal 525.

Friday, August 3, 2018

Analisis Gerakan Sosial-politik Alumni 212






Alumni 212 sebenarnya memanfaatkan keterbukaan dalam sistem politik demokratis ini untuk membangun gerakan sosial-politik. Mereka melancarkan aksi tersebut sebagai hak asasi konstitusional yang sah. Dampak keterbukaan dan sebuah sistem politik adalah perubahan strategi gerakan sosial-politik, seperti jalur kekerasan, atau gerakan damai, atau sitting. Ini merupakan Political Opputunity Structure yang membentuk strategi gerakan sosial politik Islam Alumni 212. Berjalannya berbagai aksi selama 1 tahun ini dilakukan dengan cara yang sah dan damai.
Political Opportunity Structure yang dapat diidentifikasi adalah konteks waktu kemunculan gerakan Alumni 212. Konteks Pemilu yang terjadi di Jakarta membuat elit-elit yang terbelah untuk membantu memenangkan pemilu. Aksi bela Islam 212 dalam penuntutan kasus penistaan agama Ahok tidak mungkin terlepas dari unsur kepentingan elit politik yang terbelah. Dari belahan elit yang terjadi, sumber daya mobilisasi (resource mobilization) dimiliki oleh Alumni 212 dari elit yang di untungkan dalam gerakan alumni 212.

Penelitian Ali Ashgar secara umum menjelaskan aplikasi teori aktivisme Islam dalam melihat Indonesia,[2] ia Menjelaskan tentang watak Aktivisme Islam ditentukan dari pada kemampuan mengukur toleransi, represifitas negara, dan akses sistem politik. Toleransi Aktivisme Islam dalam hubungannya dengan negara menentukan strategi yang dipakai Aktivis Islam seperti kekerasan dalam mempengaruhi sistem politik. Selain itu, kebangkitan Aktivisme Islam  dipengaruhi oleh  ketidakmampuan elit dalam mengakomodir kepentingan politik Islam yang termarjirnalkan selama periode rezim Soeharto. Hal ini juga berdampak pada kemunculan berbagai gerakan Islam di Indonesia dari yang menggunakan strategi ekstrim sampai yang moderat. Kesimpulan dari penelitian Ashgar adalah bahwa saluran politik yang tertutup bagi masyarakat muslim memungkinkan kemunculan Aktivisme Islam yang lebih radikal dalam startegi mempengaruhi kebijakan diluar sistem yang terinstitusionalisasi. 

Selain konteks politik, konteks kebudayaan juga dipandang penting untuk dilihat dalam menganalisa gerakan Alumni 212. Dalam penelitian kebudayaan dan gerakan sosial, Muhammad Wildan[3] menjelaskan tentang budaya muslim perkotaan populer sebagai kelompok kelas menengah yang mendominasi Aksi Bela Islam berpengaruh dalam kemunculan aksi demonstrasi tersebut. Dengan meluasnya diferensiasi dan orientasi keagamaan di masyarakat muslim perkotaan yang disebabkan globalisasi dan demokratisasi, masyarakat kelas menengah Islam menjadi massa rentan terhadap arus Informasi nilai dan ideologi dapat terjerat dan ikut dalam Aksi Bela Islam. Pengaruh informasi nilai dan ideologi yang banyak mendorong gerakan tersebut adalah Islamisme. Islamisme ini terjadi dalam ruang publik yang membuat perspektif masyarakat muslim menunjukan ‘kesalehan’ mereka dalam Aksi Bela Islam.
 
Keshalehan Populer adalah budaya yang ingin menunjukan dirinya saleh dengan mengikuti kegiatan aksi keislaman. Hal ini dijadikan alat cultural framing yang dimanfaatkan oleh alumni 212 dalam membingkai isu yang berkembang di masyarakat untuk menjaring masyarakat agar ikut dalam berbagai aksi bela Islam. Dari konteks tersebut, penulis mendapatkan gambaran yang bisa dipertimbangkan dalam gerakan sosial-politik Islam alumni 212. 

2        Strategi Alumni 212 dalam Gerakan Sosial

Untuk memudahkan analisa penulis, penulis membagi dua kepentingan politik yang diperjuangkan Alumni 212 dalam pemerintahan jokowi yaitu, penuntutan kasus Ahok dan kasus Perppu Ormas. Gerakan kasus Ahok memiliki konteks Pilkada DKI dan kasus Perppu Ormas memiliki konteks perseteruan (contentious) ormas Islam dengan negara.
  
Pertama, pada kasus Ahok yang dijadikan tersangka penistaan agama pada saat aksi bela Islam 411 dan 212, Strategi yang dipakai Alumni 212 dalam menentukan posisi politik yang ditentukan political opportunity structure adalah kesempatan elit yang terbelah antara elit pendukung ahok dan elit anti-ahok. Kepentingan elit yang berorientasi pada kemenangan pilkada dimanfaatkan untuk membangun kekuatan framing dan mobilisasi sumberdaya (resource mobilization). Dalam konteks pilkada, kemungkinan partai-partai oposisi ahok seperti Gerindra dan Demokrat mendukung alumni 212 dalam gerakan tersebut. Sedangkan dalam konteks framing yang dibangun adalah untuk umat islam itu sendiri, maka mobilisasi sumber daya yang ada pun berangkat dari umat islam. Dalam masalah resource mobilization, Alumni 212 mengembangkan keorganisasian yang kuat dengan memasuki masjid-masijd secara informal untuk mengajak aksi 212. Selain menguasai ruang publik material, ruang publik maya juga dikerjakan. Seperti dijelaskan penelitian Arie Setyaningrum dan Gita Octaviani[4] membahas Kasus Bela Aksi Islam pada tahun 2016 yang menuntut Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dipenjara karena dianggap telah menista agama Islam. 

Penelitian berusaha menjelaskan keberhasilan mobilisasi dukungan massa Aksi Bela Islam melalui kampanye di media sosial. Keberhasilan ini ditentukan dengan strategi propaganda dakwah dengan memanfaatkan media sosial yang dianggap penulis sebagai Ruang Publik Muslim. Ruang Publik ini memiliki narasi pergerakan keshalehan muslim Indonesia. Selain itu, penulis juga menelaah secara langsung komunitas luar jaringan online untuk menunjukan Ruang Publik Muslim secara rill. Hal ini memberikan penjelasan kemampuan organisasi yang sudah ‘melek’ teknologi dalam memobilisasi dukungan aksi.

Selanjutnya pada masalah cultural framing yang dibangun alumni 212 dalam kasus Ahok.  Frame bahasa yang dipakai adalah bahasa Islam, seperti ayat-ayat Al-Quran, yang digunakan untuk memancing audiens untuk ikut dalam aksi bela Islam. Aksi Bela Islam menunjukan keberhasilan kemampuan Habib Rizieq dalam membangkitkan semangat massa untuk menuntut penistaan agama Ahok. Dalam penelitian Muhammad Wildan, Isu Islamisme, yaitu ideology politik islam, dimanfaatkan dengan tidak adanya nilai-nilai Islam dalam struktur kenegaraan. Masyarakat yang didominasi oleh kelas menangah yang konsevatif masuk kedalam jaringan tersebut dan ikut dalam Aksi. Selanjutnya, mereka melaksanakan aksi damai sebagai pembeda dengan aksi-aksi lainnya.

Dari Rangkaian penjelasan analisa gerakan sosial-politik islam yang menguntungkan posisi Alumni 212 berdampak pada keberhasilan alumni 212 untuk Negara mengusut kasus ahok dengan menghadirkan massa yang besar. Selanjutnya identifikasi kedekatan alumni 212 dengan berbagai partai politik terlihat dalam aksi yang mengawal prosesi pilkada.

Kedua, dalam Aksi Protes Perppu ormas, yang dimulai dari berbagai perseteruan Negara dan Ormas Islam, seperti kasus chat porno Habib Rizieq yang dianggap sebagai kriminalisasi ulama, pembubaran HTI, lalu munculnya perppu ormas. Konflik perseteruan Negara dan ormas Islam ini memiliki konteks yang jauh berbeda dengan kasus Aksi Bela Islam. Selesai dengan konteks pilkada, political opportunity dari bulan mei sampai oktober memiliki belahan elit-elit yang tidak terlalu tajam. Seperti MUI yang tidak mau bersikap, NU yang dekat dengan rezim, partai-partai koalisi pendukung pemerintah dalam penerbitan perppu ormas, serta cendikiawan muslim yang merasa perlu adanya perppu ormas. Posisi Alumni 212 yang menolak Perppu ormas hanya didukung 3 partai yaitu, Gerindra, PKS, dan PAN. Hal ini berdampak besar pada kemampuan Alumni 212 untuk menolak perppu ormas.
 
Dalam masalah Resource mobilization, sumberdaya mobilisasi memiliki permasalahan dalam tubuh internal organisasi Alumni 212 yaitu masalah presidium yang diganti dikarenakan masalah etika tuntutan aksi yang mendukung Hary Tanoe. Permasalahan internal ini berdampak pada kinerja mobilisasi aksi-aksi lanjutan Alumni 212. Selain itu, diluar konteks pilkada dukungan sumberdaya dari luar juga menjadi salah satu faktornya.

Dalam masalah Cultural Framing, ada kerancuan isu yang dibangun alumni 212 menghadapi permasalahan perppu ormas. Pertama pada isu substansial kajian, secara substasial permasalahan Perppu ormas adalah permasalahan demokrasi, sedangkan afiliasi organisasi alumni 212 seringkali menolak demokrasi, contohnya seperti HTI yang menolak demokrasi. Selain itu masalah lainnya, adalah kuatnya belahan opini pro-kontra dalam masyarakat tentang melihat masalah perppu ormas. Dalam aksinya alumni 212, menggunakan framing yang sama namun tidak efektif dengan tidak hadirnya Habib Rizieq.

Dari hal-hal yang disebutkan diatas berdampak pada pengaruh yang lemah kepada perubahan kebijakan Perppu Ormas pemerintah sehingga Perppu ormas itu tetap berjalan.
Dari analisa tersebut, Gerakan sosial-politik Islam Alumni 212 yang dipengaruhi sistem politik demokrasi yang terbuka dan pengaruh budaya Islam kontemporer. Keberhasilan aksi bela Islam tidak terlepas memanfaatkan momentum pilkada Jakarta lalu atas elit yang terbelah, mobilisasi sumberdaya yang solid secara keorganisasian, ditambah dengan framing budaya Islam yang diperkuat dengan Habib Rizieq. Penurunan gerakan sosial-politik Alumni 212 terjadi pasca aksi bela Islam dengan political opportunity yang sulit, organisasi yang terbelah, dan isu yang dibangun tidak sesuai.

3. SARAN DARI PENULIS

Pembahasan dalam tulisan ini, penulis dapat memberikan saran bagi para pembaca bahwa telah banyak gerakan sosial-politik islam yang terjadi di Indonesia tentunya ada aktor politik yang berperan dalam gerakan tersebut. Jadi, sebagai masyarakat Indonesia yang baik seharusnya jangan mudah tersulut emosi yang berdampak memecah belah masyarakat Indonesia. Maka, bagi elit politik juga seharusnya menghindari struktur kesempatan politik dengan menjadikan agama sebagai alat berpolitik.



[1] Gabriel Almond dan Sydney Verba., The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations. (Princeton, NJ: Princenton UP, 1963). Hlm. 63.

[2] Ali Ashgar, “Islam Politik dan Radikalisme Islam IndonesiaJurnal Keamanan Nasional (Volume 1 No. 2 Tahun 2015) hlm. 197-224, jurnal (online) diakses melalui http://jurnal.ubharajaya.ac.id/index.php/kamnas/article/view/23/16 pada 7 Januari 2018 pukul 23.51 WIB.
[3] Muhammad Wildan, “Aksi Damai 411-212, Kesalehan Populer, dan Identitas Muslim Perkotaan Indonesia,” Jurnal Syafii Maarif: Arus Pemikiran Islam dan Sosial, Setelah Bela Islam: Gerakan  Sosial Islam, Demokratisasi, dan Keadilan Sosial (Volume 11, No. 2, Bulan Desember Tahun 2016): hlm. 188-202, jurnal (online) diakses melalui http://digilib.uin-suka.ac.id/25472/1/Wildan_Jurnal%20MAARIF%202016%20Aksi%20Damai%20212%20%26%20Kesalehan%20Populer.pdf pada 7 Januari 2018 pukul 23.04 WIB.

[4]  Arie Setyaningrum dan Gita Octaviani, “Aksi Bela Islam dan Ruang Publik Muslim: Dari Representasi Daring ke Komunitas  Luring,” Jurnal Pemikiran Sosiologi UGM (Volume 4 No. 2, Bulan Agustus Tahun 2017): hlm. 66-87, jurnal (online) diakses melalui https://jurnal.ugm.ac.id/jps/article/download/28581/pd pada 7 Januari 2018 pukul 22.11 WIB.

Tentukan Sendiri Definisi Cantikmu

  Mereka bilang kamu cantik; “andai badanmu lebih langsing lagi, lemak di perutmu masih menggelambir, kamu wajib diet, potong jatah makanmu,...