Wednesday, July 14, 2021

Tentukan Sendiri Definisi Cantikmu

 

Mereka bilang kamu cantik; “andai badanmu lebih langsing lagi, lemak di perutmu masih menggelambir, kamu wajib diet, potong jatah makanmu, olahraga setiap sore tapi terlalu ceking juga gak enak dipandang kamu kelihatan seperti orang sakit dan kurang gizi”.

Mereka bilang kamu cantik; “andai riasan wajahmu gak terlalu menor, cantik itu mesti terlihat natural tapi natural bukan berarti bebas dari make up nanti wajahmu pucat siapa yang mau menatap”.

Mereka bilang kamu cantik; “andai kulitmu putih eh tapi jangan terlalu putih nanti pucat seperti  mayat”. “Kamu cantik juga andai terlihat eksotis tapi jangan terlalu banyak berjemur nanti kulitmu malah cokelat kumal bahkan hitam dan sudah pasti itu gak cantik”.

Mereka bilang kamu cantik; “andai rambutmu hitam berkilau dan lurus, rambut keriting membuat wajahmu jadi terlihat bulat, kamu gak cocok rambut panjang wajahmu terlihat tenggelam eh tapi jangan dipotong terlalu pendek, rela dikira cowok? Kenapa ngga tampil trendy dengan rambut diwarnai? Eh tapi hindari warna ini atau itu yah terlalu ngejreng kayak lampu neon”.

Tampilan rambut menjadi salah satu bagian dari perempuan yang kerap mendapat perundungan. Si keriting, si gimbal, si keribo, dengan entengnya mereka memberikan julukan itu. Coba bayangkan betapa menjenuhkannya bila semua perempuan harus punya rambut yang lurus hitam dan panjang. Tak ada yang harus seragam pada penampilan kita, kita dibekali sesuatu yang seringkali lebih cantik dari yang kita duga.

Kamu yang keriting keribo atau memutuskan potongan rambut super pendek, kenapa harus terganggu dengan ekspektasi orang lain? Kekayaan ekspresi itu punya pesonanya sendiri. Toh fungsi rambut tak sekedar estetika belaka melainkan identitas yang melekat kuat, warna rambut menggambarkan kepribadian, gaya rambut menunjukkan keseharian bahkan seuntas rambut bisa mengungkapkan asal usul kita sebenarnya. Rambut bukan benar-benar mahkota apabila perempuan tidak bisa percaya diri mengekspresikannya.

Mayoritas perempuan ingin tampil cantik dan tak ada yang salah dengan itu, yang penting jangan mau didikte oleh ukuran cantik yang dibuat orang lain, ambil definisi kecantikanmu sendiri. Standar kecantikan yang tak memanusiakan kita sebagai perempuan sudah seharusnya ditinggalkan. Yang lebih penting lagi sudah saatnya kecantikan diperluas tidak hanya tentang sesuatu yang bersifat bawaan dari lahir karena itu akan membuat kecantikan semata kata benda, kecantikan seharusnya juga kata kerja.

Seseorang menjadi cantik karena tindakannya, karena perbuatannya, karena aktivitasnya. Barang siapa yang mampu berbuat baik kepada sesama, sanggup menggerakan sekitar untuk melakukan hal-hal bajik, bisa memperlihatkan kerja-kerja konkrit yang mengubah dan menggugah itulah secantik-cantiknya perempuan. Kecantikan tak semata kualitas bawaan yang melekat pada seseorang melainkan juga energy yang menyebar dan dirasakan disekelilingnya. Dengan itulah kecantikan akhirnya menjadi berdampak. Cantik itu berani punya mimpi dan ambisi tapi juga kemurahan hati dan empati. Sebab perempuan memang bukan pemandangan dan kecantikan bukan untuk diperlombakan.

Kenapa Perempuan Harus Memilih?

 

Sebagai perempuan membuat pilihan seringkali menjadi tantangan. Kerapkali kita ditanya “bekerja atau menjadi ibu rumah tangga?” seolah-olah memilih salah satu akan mengorbankan yang lainnya. Pilihan bekerja akan dilihat sebagai pilihan yang melawan kondrat, sementara pilihan menjadi ibu rumah tangga akan membuat perempuan dinilai mengorbankan bakat. Dilema dan penghakiman yang tidak pernah dialami oleh laki-laki. Kapan kita pernah mendengar seorang laki-laki ditanya “mau berkarir atau menjadi ayah yang baik?”.

Setiap kali perempuan bimbang mengambil pilihan. Orang-orang dengan gampang memvonis perempuan memang ribet. Kami bukan makhluk yang ribet juga tidak ingin ribet. Cara pandang dunia atas perempuan yang membuat kami harus berimbang lebih banyak saat harus mengambil pilihan. Jika kami kadang tampak bimbang atau ribet, percayalah itu hanyalah akibat bukan pembawaan.  Mari tegaskan satu hal, perempuan itu selalu multiperan dan semuanya hadir dengan tuntutan. Tidak ada satupun dari kita yang kekurangan pekerjaan; menjadi pengurus komite di Sekolah, aktif kegiatan pengajian di lingkungan, bekerja dari rumah dengan jam kerja fleksible dan beragam bentuk lain.

Di era digitalisasi teknologi ini perempuan bekerja dalam berbagai bentuk dan aktivitas yang bervariasi. Itu artinya jumlah perempuan yang berkarya di Negeri ini luar biasa besar. Tapi dukungan yang diberikan baik dari lingkungan maupun kebijakan seringkali tidak sepadan dengan kontribusi yang kita berikan. Ketika seorang perempuan memutuskan untuk bekerja di luar rumah, faktor-faktor yang dihadapi masih akan tetap ada bentuknya bisa macam-macam, dari mulai tradisi, norma, stereotype bahkan hukum positif.

Ada 104 Negara di dunia ini punya Undang – Undang yang mencegah perempuan bekerja di pekerjaan tertentu. 18 Negara bahkan mempunyai aturan yang memungkinkan suami mencegah istri-istri mereka bekerja. Secara global ada sekitar 2,7 Milyar perempuan yang secara hukum dilarang memiliki pekerjaan yang sama dengan laki-laki. Di Indonesia, jika dirata-rata dari 100 orang perempuan yang masuk usia produktif hanya sekitar 51 – 52 perempuan yang termasuk angkatan kerja. Bandingkan dengan laki-laki yang mencapai sekitar 83 orang. Kalaupun bekerja, perempuan dibayar lebih rendah dari laki-laki. Perempuan hanya mendapatkan gaji 77% dari apa yang diperoleh laki-laki.

Kita perlu mendorong lebih banyak lagi kebijakan yang berpihak pada perempuan bukan sekedar untuk menyesuaikan dengan tuntutan zaman tapi untuk mengembangkan potensi setiap orang, bukan sekedar untuk mendapatkan uang tetapi menjadi teladan, bukan hanya mendukung perekonomian tapi menjalankan hak asasi yang melekat disetiap orang. Ya, bukan hal yang mudah karena tekanan muncul bukan hanya dari lingkungan sekitar bahkan terdekat tapi juga keraguan dari dalam diri yang kerap membuat perempuan didera perasaan bersalah.

Apapun karya yang kita lakukan diluar peran sebagai ibu terkadang memunculkan kekhawatiran “sudahkah saya menjadi ibu yang baik?” padahal ibu yang bekerja berapapun waktunya jelas tetap ibu sepenuh waktu. Memang ada lebih banyak tantangan tapi bukan berarti kita tidak bisa merasa bahagia ketika melakukan keduanya. Bahagia dan ibu bekerja adalah kata yang sejalan maknanya, menjadi ibu dan terus berkarya adalah dua peran yang kita pilih untuk saling melengkapi bukan saling menegasi.

Perempuan tidak harus memilih, kita bisa mendapatkan keduanya, kita layak dan berhak melakukan itu tanpa diliputi kekhawatiran akan celaan dari sekitar. Wajar jika tetap ada keraguan, keputusan seorang perempuan biasanya didasari oleh pertimbangan yang lebih kompleks. Semakin kompleks situasinya kian tidak merdeka seorang perempuan mengambil sikap. Saya mungkin punya kemerdekaan, anda juga mungkin memilikinya tapi dunia tidak hanya berputar disekeliling kita, ada dunia-dunia perempuan lain yang masih serba tertutup, serba mengekang juga serba membatasi.

Tugas perempuan yang diberkahi cukup kemerdekaan adalah mendorong perempuan lain untuk lebih berani menunjukkan sikap. Ciri perempuan kuat itu adalah yang percaya diri dan berani unjuk kemampuan. Kita adalah pekerja keras dimanapun kita berada dan berusaha bahkan di lingkungan yang didominasi laki-laki. Tidak perlu didera kekhawatiran dan perasaan bersalah ketika kita berhasil menunjukkan karya. Saya percaya jika setiap perempuan memiliki dosis kemerdekaan untuk berbuat, bertindak dan berkarya maka dunia akan merasakan perubahan yang benar-benar nyata.

Saturday, June 26, 2021

Dari Perempuan Untuk Perempuan

Catatan ini untuk para perempuan yang mengambil peran sebagai anak dan atau menantu, istri dan atau ibu, saudara dan atau ipar, tetangga dan warga Negara. Yang berkarya, yang bekerja diluar rumah, memilih berdaya dengan sukarela sepenuh hatinya. Perempuan yang berkontribusi lewat berbagai bidang dan cara. Sebagian perempuan mengalami hambatan bahkan celaan harian dari lingkungan.

Sebagai perempuan sekedar membuat pilihan saja sudah menantang. Kita kerap didera perasaan bersalah walau memiliki tujuan mulia. Tidak sedikit perempuan yang cemas dengan kemampuannya sendiri, tidak jarang malah menganggap rendah dirinya sendiri, tidak heran karena penelitian menunjukkan: sukses berkorelasi positif untuk laki-laki namun kerap membawa konsekuensi negative bagi perempuan. Menjadi sukses dan disukai bukan hal biasa untuk perempuan justru kerap bertolak belakang. Kenyataan disekeliling menunjukkan terkadang ambisi yang kita miliki dianggap bertentangan dengan tradisi, pekerja perempuan yang mengupayakan posisi  dianggap hanya memikirkan diri sendiri.

Mereka yang berani unjuk diri, seringkali justru dihindari, bahkan saat sudah berhasil pun walau sukses membawa manfaat bagi orang banyak pun cibiran masih mungkin datang. Menjadi berhasil bagi seorang perempuan bisa saja memicu hal negative; dianggap begini, dinilai begitu, ditakar macam-macam. Banyak yang harus diperbaiki tapi mari memulai dari diri sendiri. tidak ada yang lebih tahu siapa perempuan selain kita sendiri. Harga diri tidak ditentukan oleh orang lain melainkan berasal dari pengenalan atas diri sendiri, tahu kekuatan dan kekurangan sendiri, dan yang terpenting paham apa yang hendak dikejar dan direalisasikan.

Defisini kepercayaan diri adalah mengetahui impian masing-masing. Mereka yang gagal menghargai diri sendiri tak punya kesempatan kedua untuk menilai orang lain apalagi menghakimi sesama perempuan. Perempuan harusnya saling bergandengan tangan bukan malah saling menjatuhkan. Mungkin karena kita melihat hidup sebagai ajang kompetisi karena perempuan punya keterbatasan ruang yang didominasi laki-laki. Jadi tanpa sering kita sadari kita kerap khawatir, cemas, segalanya tidak pernah cukup untuk diri sendiri. Akibatnya, siapapun bisa dianggap sebagai ancaman, gerak gerik sejawat bisa dicurigai sebagai tentangan.

Ada fenomena yang dikenal dengan istilah “queen bee syndrome” hasil penelitian mengungapkan: sekitar 58% perundung ditempat kerja adalah perempuan dan hampir 90% dari mereka memilih perempuan lainnya sebagai korban. Padahal menjadi positif bukan tanda kita lemah, mendukung mereka yang berhasil bukan berarti kita mengakui kegagalan. Yakin bahwa kesuksesan tidak perlu diperebutkan dan kerja bersama bisa lebih didahulukan akan membuat perempuan tidak pernah sendirian. Kita ditemani oleh yang lain, oleh perempuan yang lain.

Mari bicarakan pencapaian teman kerja perempuan kita. Mengapa itu perlu? Karena jika laki-laki dipromosikan karena potensinya, perempuan hanya berdasar performa yang sudah dibuktikannya. Jangan mengikuti gaya mereka yang kerap memperkenalkan pemimpin perempuan didepan umum bukan dengan pengakuan akan keahlian tetapi pujian pada penampilan. Jika tidak ada yang sudi mempromosikan seorang perempuan, biar sesama perempuan pula yang menjadi jurkamnya. Mari lebih menunjukkan empati dan kemurahan hati, menjauhi kecemburuan, menghindari runcingnya perasaan bersalah yang kerap mendera perempuan. Saya mengalaminya, dan terus berlatih untuk lebih baik setiap hari.

Perempuan sudah terbiasa bekerja lebih keras dibandingkan dengan para pria. Perempuan biasanya lebih rajin, lebih tekun, lebih konsisten karena seringkali pintu-pintu yang terbuka mudah untuk laki-laki itu justru masih harus diketuk atau didobrak lebih keras oleh perempuan. Jadi mari membangun lingkaran kekuatan antar perempuan. Lingkaran untuk berbagi pikiran dan perasaan, juga memupuk keberanian. Percayalah kita tidak pernah sendirian jika mau membangun lingkaran.


Friday, July 19, 2019

Relasi Personal


Beberapa kali ngisi materi analisis gender dalam sebuah pelatihan atau diskusi biasa, biasanya yang saya temukan pertama kali adalah penolakan.

Kebanyakan laki-laki yang menolak dengan anggapan bahwa konsep keadilan gender ini sangat mengada-ada dan wis ora jelaslah. Perempuan dianggap menjadi satu-satunya makhluk yang mendapat keuntungan dari konsep keadilan gender. Perempuan, satu sisi mau diistimewakan tapi disisi lain banyak nuntut. Kira-kira begitulah anggapan mereka yang menolak ini.

Setelah saya cek dan recek mereka ini adalah korban dari budaya patriarki itu loh. Baik dalam keluarga maupun relasi personal.
Kita bahas bagaimana sebenarnya pola relasi personal yang baik antara laki-laki dan perempuan, kuy?

Konsep keadilan gender kan sederhananya bagaimana kita saling memanusiakan manusia. Sulit? oh tentu. Isu gender ini memang lebih gampang dan enak diomongin dan didiskusiin doang kok. Aseli deh. Kalau buat praktek? Berat. Banget.

Ketika memutuskan untuk berelasi dengan laki-laki sedari awal biasanya saya coba untuk bagikan apa yang jadi prinsip dan nilai yang saya anut, semuanya harus pro pada kesetaraan dan terbuka.

Berasal dari keluarga muslim yang tradisional yang cukup fundamental dan juga “patriarki”, saya mengalami loh masa-masa dipaksa “perempuan itu harus bisa masak”, “perempuan itu harus rapih”, “perempuan itu harus lembut dan semacamnya”.

Dulu, mana saya paham apa itu patriarki dan gender. Dari kecil saya dirawat oleh mama saya yang keras bukan main. Dia bilang “perempuan itu harus mandiri, harus bisa cari uang sendiri jangan cuma nadah sama laki”. Pesan itu yang saya ingat sampai sekarang. Gimana satu sisi mereka sangat bias dan patriarki tapi disisi lain mereka berusaha mendobrak batas-batas yang telah lama dilekatkan pada anak gadis. Oh iya, mereka mendukung saya dan anak-anaknya sekolah sampai universitas. Mamake yang lulusan SD mana paham gender dan patriarki.

Entah sejak kapan, saya mulai biasa melakukan beberapa hal ini ketika sedang berelasi dengan lawan jenis. Menurut beberapa orang ini tak biasa tapi ini membantu sekali agar kita terhindar dalam  hubungan yang toxic.

1. Bayar pake uang sendiri pas nge-date

Saya pernah beberapa kali kena protes teman perempuan, “kok dia gak bayarin sih”, “duh pelit ah hil, jangan”, “hari gini masih ada aja cowok gak modal ya”. Dan banyak lagi cuap-cuap mereka yang intinya aneh kenapa saya selalu mau keluar uang sendiri kalau lagi jalan sama gebetan.

Pertanyaannya, emang sejak kapan laki-laki harus bayarin ongkos nge-date kita? Sejak kapan laki-laki jadi makhluk tercela? Sejak kapan laki-laki gak boleh bokek?

Jika kita kasih standarisasi bahwa setiap laki-laki harus bayarin pas nge-date. Maka kita perempuan sedang mengamalkan budaya patriarki ini. iya kita sedang membuat laki-laki juga jadi korban loh.

Kalau hari ini kita memaksa laki-laki untuk selalu siap sedia ngeluarin duit buat ongkos makan, jajan dan lain-lain, besok lusa laki-laki akan memaksa perempuan untuk bisa masak, nyapu, ngepel dan lainnya.

Gue selalu berinisiatif untuk bayar ongkos nge-date, apakah kemudian nanti si cowoknya gak mau, ya kita tinggal berbagi. Saya bayarin makan  cowoknya bayarin nonton misalnya. Intinya jangan membebankan urusan ekonomi pada laki-laki.

Sederhana ya ,bayarin makan doang mah gampang. Pada kenyataannya sulit loh. Banyak juga laki-laki yang gak mau dibayarin sama cewek. Superioritas yang dilekatkan pada laki-laki membuat harga dirinya terluka kalau dibayarin. Padahal itu suatu saat akan memberatkan dirinya sendiri.

Inget kampanye nikah muda beberapa waktu lalu?
Bokek? Nikah.

Emang nikahnya sama mesin ATM yang gak pernah kosong wkwkwk.
Saya yakin kok, laki-laki yang open minded juga mau punya pasangan yang selain pekerja keras juga mandiri secara ekonomi.

2. Ngomong Oy !

“Harusnya kan dia peka hil!”
“gue udah kasih kode, dia nya aja bego!”
“dia tuh gak peka!”

Itu beberapa curhatan teman perempuan saya kalau mereka berantem sama pacarnya. Begini sahabat, kalian ini mau pacaran sama cowok atau peramal sebenarnya? Yang bisa ngerti tanpa dikasih tau atau dapat penjelasan.

Menjadi pihak yang selalu ingin dimengerti tanpa kasih penjelasan itu juga gak fair buat laki—laki. Mari biasakan untuk ngomong maunya apa! Kenali dan pahami diri sendiri dan bantu orang lain untuk pahami diri kita kemudian belajarlah untuk saling memahami.

Ngomong kalau mau dimanja, ngomong kalau mau makan disana, ngomong kalau mau dielus kepalanya, bilang kalau mau ndusel *loh, hahaha intinya NGOMONG !
Ayolah, perlakukan partner mu sebagai manusia biasa bukan superhero dan paranormal yang bisa tau mau kita tanpa ngomong.

Perempuan kerap dianggap inferior dan pihak yang pasif dalam sebuah hubungan.
Saya akui untuk kita perempuan terbiasa berbicara atas apa yang kita pikirkan dan inginkan itu sulit bukan main. Bagaimanapun perempuan punya pengalaman khas perempuan soal bagaimana budaya patriarki telah merugikan kita sejak lama. Direpresi ide dan gagasannya bahkan hasrat seksualnya sekalipun salah satu warisan budaya patriarki yang perlu kita dobrak bareng-bareng.

Untuk laki-laki, jika partner perempuan mu adalah makhluk yang biasa bilang ‘’terserah’’ untuk hal apapun tapi kemudian misuh-misuh sendiri, ayo latih dia untuk terbiasa berargumen. Tanya pendapatnya, hargai opininya, dengarkan ide dan gagasannya.
Untuk kita perempuan yang masih susah ngomong apa yang kita inginkan, ayo sama-sama belajar dan kita lawan rasa takut itu ya! Kita pasti bisa !

3. Berhentilah melakukan sesuatu dengan alasan ‘’…..saya kan perempuan, saya kan laki-laki…..”

Intinya berhentilah jadikan alasan karena kita perempuan dank arena kita laki-laki untuk melakukan sesuatu. Misal untuk urusan masak-memasak, “kamu masakin aku lah, perempuan itu harus bisa masak”. Urusan antar jemput, “sayang jemput dulu dong, kamu kok cowok gak sigap banget”. Padahal cowoknya lagi nanggung main PUBG.

Pun urusan bayarin makan, angkat galon, urusan peka gak peka, urusan semua lah. Prinsipnya, berelasilah dengan seseorang dengan niat memanusiakan manusia tadi.
Misalnya, urusan masak, nyapu, ngepel yang dulu selalu diafiliasi dengan perempuan, kan sebenarnya jikapun itu dilakukan oleh laki—laki gak masalah toh?

Ohiya tapi untuk mengurus diri sendiri menurut saya juga basic banget untuk kita bertahan hidup sih. Gak peduli lu punya penis atau vagina.
Cewek gakbisa masak? Gapapa.
Cowok gakbisa nyetir? Gapapa.

Berelasilah dengan saling mengakui kekurangan dan kelebihan satu sama lain dan selanjutnya tentu saja untuk mengasah potensi diri satu sama lain.

Jangan ada batasan, karena kita perempuan maka harus ini dan itu. Karena dia laki-laki maka harus bisa ini dan itu. Suatu saat, kalau kita terus pakai pola ini, kita akan dipaksa memenuhi standar keharusan tadi.

Jadi, kita mulai semua dengan setara dan bermartabat ya. Bisa kan?

Thursday, July 11, 2019

Fenomena Iri Hati, Dengki, Julid, Nyinyir

Jadi kita akan mulai bahas, bagaimana fenomena iri hati dengki lalu nyinyir kemudian julid ini bermula dan berakhir.

Kayaknya hampir semua orang mungkin pernah ada pengalaman iri sama orang lain. Entah disebabkan oleh apa. “Kok dia enak banget sih kerjanya” “dia apaan sih kerjanya??” “padahal dia ngga pinter banget, tapi kok bisa ya?”

Dari iri hati dengki, nyinyir sampai akhirnya jahat banget? Pernah nemu yang begini?
Gue juga pernah kok iri hati sama beberapa teman gue yang kelihatannya udah keren dan sukses banget. Setiap kali ada teman gue yang lagi lanjut studi lagi, pasti dalam hati gue kadang suka “nyesss” alias iri kok orang lain udah bisa ya, gue kapan dong. Apalagi ini masih skripsi woy ! hahaha. Sebagai anak kedua yang harus menyelesaikan studinya di kampus, pernah ada moment dimana setres lihat kesuksesan orang lain. Pernah ngalamin? Santai kalian gak sendirian. Hahaha

Sampai akhirnya, ada satu moment yang gue inget. Beberapa teman sering main ke tempat tinggal gue. Mereka datang kadang buat ngehibur gue sampai ujung-ujungnya ya cerita kehidupan mereka juga.

Pernah yang gue inget satu moment teman gue pernah main dan kita ngobrol ngalor – ngidul sampailah ke topik bagaimana mereka sangat amat mengkhawatirkan besarnya biaya pernikahan di masa depan.

Itu gabut banget aseli, tapi gue yang biasanya kenal mereka sewoles dan santai abis hidupnya, saat yang lain masih sibuk huru-hara mereka dengan serius sudah bahas begituan. Respon gue? Ya nyimak aja cuy ! wkwk

Setelah gue simak juga, akhirnya gue sadar setiap orang punya hal-hal yang mereka risaukan sendiri dan ada pula yang jadi prioritas mereka. Semua itu akhirnya yang menentukan sistem atau mekanisme kehidupan apa yang dipilih orang tersebut.

Makin kesini, gue makin sering denger cerita kehidupan pahit beberapa teman gue yang dulu gue sangat idamkan dan kadang bikin gue iri hati tadi.
Aseli, semua orang hidup dengan cara dan porsinya masing-masing ini bener banget.

Terus iri hati dengkinya gimana?

Menurut gue, perasaan iri hati itu akan selalu ada saat kita tidak pernah merasa cukup. Terus apa itu salah? Tergantung. Kalau iri hati dengki yang bikin kita akhirnya jadi jahat sama orang lain, ya dipikir saja sendiri masa jahatin orang lain gak salah.

Tapi kalau iri hati itu jadi pemicu untuk kita terus bekerja keras sampai titik darah penghabisan, ya selamat berjuang !

Tapi akhirnya gue juga punya mekanisme hidup yang sehat jiwa dan raga sendiri yang bikin gue semakin mengurangi dan menghindari untuk iri hati dengki julid sama orang lain.

Misalnya, kalau gue sampai pada moment yang lebih sering iri lihat kesuksesan orang lain sampai akhirnya gelisah dan ngga senang saat orang lain senang alias julid berarti itu gue berpikir kalau gue lagi sakit. Sakit dalam artian bahwa hidup gue lagi penuh aura negatif. Pernah ngga kalian begini? Kalau sudah begini kalian ngapain?

Kalau sudah begitu, biasanya hilda akan healing dengan cara hilda sendiri:

1. Gue akan gunakan waktu gue untuk sendirian, entah itu baca buku bacaan yang gue suka, jalan-jalan di mall, nongkrong di cafe atau dimanapun.
2. Setelah itu gue akan ketemu banyak orang yang selama ini gue kenal baik karena sering membawa aura positif.
3. Kalau ketemu orang lain terlalu melelahkan, kadang gue akan tidur dan bangun untuk akhirnya berrefleksi hal-hal apa saja yang telah dilalui selama ini.

Ada lagi?

Moment refleksi ini yang amat sangat penting. Dari sanalah gue mulai mengingat kembali apa saja hal yang sudah gue lakuin, capaian apa yang belum diraih, planning mana yang terlalu jauh dari target dan harus segera punya planning baru dan hal-hal lainnya yang bikin gue berpikir bahwa waktu gue terlalu berharga untuk sibuk iri hati dengki sama orang lain.

Selain itu, gue juga yakin kok mereka yang iri hati dengki nyinyir julid sampai jahat adalah mereka yang GAK ADA KERJAAN atau punya banyak waktu luang sampai punya  banyak waktu untuk lakuin hal-hal tadi. Iya gak sih?

Intinya begitulah. Toh gue juga bukan orang yang selalu nerima keadaan kok, kadang gue juga mengutuk kerasnya kehidupan dan ketidakadilan yang fana ini kok. Hehehe.

Tapi akhirnya, tentu saja keputusan harus diambil. Kita boleh saja merasa tidak cukup terus menerus, tapi saya sendiri memutuskan untuk sedikit-dikitnya mulai coba bersyukur. Kalau ngga begitu, lama-lama saya bisa gila. Banyak banget yang dimau. Hehehe.

Oh iya, jangan ragu melepaskan pertemanan yang tidak berjalan baik dan penuh kemunafikan serta iri hati dengki yang berujung jahat.

Gue biasanya kalau iri sama orang lain atau teman, gue orang yang akan ngomong langsung sih. Biar apa? Ya biar gue tahu lah gimana itu orang bisa sukses begitu kan. Hahaha

Tapi beberapa waktu lalu, gue menemukan fakta ada orang yang deket sama gue ternyata menyimpan iri hati dengki dan bikin gue jauh dan hampir kehilangan seseorang yang cukup penting dihidup gue. Ini buat gue jahat sih aseli.

Jadi, yasudahlah. Mekanisme pertemanan yang selama ini gue jalin berarti tidak berfungsi dengan baik, pilihannya ya pertemanannya gak perlu diteruskan.
Sedih ? kecewa ? sampai rasanya hilang karena mati rasa. Hahaha. 

Thursday, April 18, 2019

MENJAGA KEWARASAN


                Akhir-akhir ini banyak hal bikin gue sadar bahwa menjaga kewarasan itu perlu ditengah maraknya moment PEMILU kaya gini. Tapi ya hamba ini siapa bisa kasih kesadaran buat netizen yang budiman. Selama kuliah Studi Sosiologi yang idealnya pengamat-solusi, betapa stress nya mendapati kenyataan hidup bermasyarakat ngga semudah analisa teori klasik sampai dengan modern, ngga semudah teori Durkheim soal Struktural Fungsionalisme, ngga semudah teori Robert K. Merton tentang Role Model, ngga semudah gue belajar Civic Education sama Pak Ubay yang nilai gue selalu A setiap tulis essay (ish sombong banget gila! wkwk), dan lain sebagainya. Ini yang gue bilang betapa sulit implementasinya.
                   Buat yang mau baca jangan dulu misuh-misuh. Gue bukan mau ngomongin politik atau sok bahas teori kok. (Gue udah jarang baca buku soalnya, hahaha). Oh ya, yang mau bilang gue liberal ya monggo. (sebelum dihujat, haha). Gue kasih sadar buat teman-teman semua yuk mari kita jaga kewarasan ini sama-sama, terkadang sadar/tidak kita ini sukar berpikir dan abai akal sehat. [1]Buat yang udah baca tulisan gue soal “Stop Jadi Partisipan Politik yang Afektif” semoga bisa kasih pandangan ke semua ya.
                   [2]Ada hal yang buat gue merasa miris ketika musim Pilpres ini datang. Miris karena gue melihat banyak masyarakat Indonesia yang minim apresiasi sama Pak Jokowi yang saat ini masih menjabat sebagai Presiden RI. Gue pribadi ngga begitu addict sama kedua paslon ini, ya gue melihat dengan objektif bahwa keduanya berkualitas dengan bidangnya masing-masing. Percaya atau engga, ngga ada satupun pemimpin yang ngga mengecewakan. Pasti ada sisi baik buruknya. Gue juga yakin, ngga ada pemimpin yang niat memimpin setengah-setengah, ngga ada pemimpin yang sengaja ngecewain rakyatnya. Kalau kita ngga bisa memuji, minimal jangan hanya lihat kurangnya aja.
                   Perlu tahu, ngga sedikit dari kita yang gondok, kesel, emosi sampai eneq lihat comment netizen bak pengamat politik senior, bermunculan kritis musiman yang aduhai kata dan kalimatnya, juga perbedaan yang memecah belah. Tapi kalau melulu membalas makin panas, pun dengan kasih solusi tak akan menyudahi. [3]Ada hal yang bikin gue sadar bahwa sebenarnya netizen/rakyat ini juga korban. Loh iya, kenapa?
                   Sedikit kasus, satu waktu nyokap gue diundang oleh salah satu partai politik untuk kampanye calegnya. Tetiba pulang dari acara tersebut, nyokap terprovokasi langsung menyodorkan beberapa kalimatnya yang menurut gue itu black campaign dari partai itu. (ada lah partainya gue ngga akan menyebutkan disini). Mau tahu hal apa yang gue lakuin? Gue baru bilang “ma, mama ngga boleh kaya gitu. Belum tahu kebenarannya. Coba mama…” belum selesai gue ngomong disemprot gue “kamu tuh ya lama-lama kamu tuh ngga bener tau gak pandangannya, percuma shalat sama ngaji kalau ikut sesat pilih *tetooot* (sensor ya monmaap, hahaha)” sulit gak tuh kasih penyadaran coy ! Pengin marah tapi ya gimana gue anak beliau emak. Gue bisa dilaknat sama Yang Maha Kuasa karena durhaka cuma gara-gara itu kan. Hehe. Anyway, nyokap ini tidak berpendidikan tinggi, dirumah jaga cucu, masak, ikut arisan ibu-ibu dan pengajian ke beberapa tempat, ya temannya itu-itu lagi bergelut di lingkungan dengan sudut pandang yang sama.
                   Hal ini yang buat gue paham bahwa [4]kita juga ngga bisa judge, kita harus lihat dahulu latar belakang orang itu bagaimana dan seperti apa. Pasti banyak netizen diluar sana yang sama seperti nyokap gue, maka muncul deh pendukung A, B, C dengan saling hujat. Oleh karena itu, betapa elite politik kita saat ini juga harus bebenah diri, jangan menyodorkan statement yang provokatif. Mbok ya kasihan toh Rakyatnya. Kalau ada yang Tanya “terus gimana hil dengan sosok yang berpendidikan tinggi, tokoh masyarakat, bahkan pemuka agama ada loh yang saling hujat karena beda pilihan?” [5]Menurut gue ya balik lagi konteks di awal, pahami bahwa mereka ini kan para pendukung ya mereka ikut euphoria dari sosok yang mereka pilih. Maka dengan jelas gue bilang para pendukung juga harus cerdas, ngga gampang diprovokasi elite.
                   Intinya, setiap pertarungan politik ini elite itu berpengaruh banget menjaga kondisi tetap aman dan kondusif. Kita tunggu hasil KPU, dan seharusnya para elite ini ngga kasih statement apapun yang provokatif. Kenapa? kasihan rakyat dibawah, mereka mudah sekali terprovokasi[6]. Sekali lagi, kalau ada kalimat yang provokatif keluar dari elite kita sorakin aja yuk bareng-bareng elitnya (Hahaha). Rakyat cuma korban kok, jadi menjaga kewarasan juga dengan stop nyinyir para pendukung Prabowo-Sandiaga dan Jokowi-Ma’ruf ya. Hehehe.


[1] One Of Menjaga Kewarasan
[2] Pahami Menjaga Kewarasan
[3] Substansi Menjaga Kewarasan
[4] Kiat Menjaga Kewarasan
[5] Sederhana Menjaga Kewarasan
[6] Intisari Menjaga Kewarasan

Saturday, February 9, 2019

SENSI KAMPANYE NIKAH MUDA !




Tulisan ini dibuat atas tanggapan beberapa poster kampanye nikah muda yang ada di akun instagram @negeriakhirat beberapa waktu lalu.

  

Lelah kerja? Nikah”
“Bokek? Nikah”


Monmaap nih, ngana sehatkan? Gue kalau lelah kerja, Alhamdulillah ngga ada kepikiran pengin buru-buru nikah. Yang ada pengin liburan, pengin ndusel, pengin uwel-uwel. Ehhh

Udah nahan diri buat ngga ikut celoteh soal nikah-nikah apalagi soal mereka yang giat kampanye nikah muda. Tapi kok ya, ini kelamaan menghina akal sehat aja sih. Hmmm..

ASELI, gue ngga ada masalah sama sekali sama mereka yang memilih menikah muda. Sama sekali ngga ada. Kenapa? Karena gue termasuk orang yang sangat menjunjung tinggi kebebasan individu untuk menentukan pilihan hidupnya. (jadi buat yang mikir gue meng-ignore seseorang karena dia nyakitin orang terdekat gue, bisa dipastikan itu salah. Gue ora urus urusan orang lain, apalagi perasaan orang lain) eh tuh kan jadi gak fokus. 
 
Jadi gini, sekali lagi gue gak masalah sama pilihan sadar seseorang untuk nikah muda. Bebas cuy. Sama halnya, mau nikah muda kek, mau tua kek, bahkan untuk tidak menikah sekalipun. Tapi gue masalah dengan cara mereka kampanye nikah muda ini loh. Kenapa? Ayo kita bahas.

Masalahnya adalah kampanye nikah muda ini benar-benar mengabaikan akal sehat dan kompetensi para perempuan. Kenapa? Coba perhatikan poster-poster di akun yang gue share tadi. Perempuan malas kerja? Ya nikah. Perempuan bokek? Ya nikahh. Serius deh apa itu gak penghinaan?
 
Menikah juga dianggap sebagai satu-satunya solusi atas ketidak mandirian ekonomi para perempuan. Padahal diluar sana ada banyak loh, perempuan yang jadi tulang punggung keluarganya. Iya gaak?

Gue misalnya menganggap pernikahan itu sebagai kontrak. Nah yang namanya kontrak itu kan ada negosiasi dan tawar menawar yang kemudian disepakati kedua belah pihak. Kalau udah deal, yaudah cus nikah.

Coba bayangin aja kalau perempuan yang mau nikah muda ini, semata-mata karena mau dinafkahin dan malas. Apa gak turun tuh posisi tawar kita sebagai perempuan?
Akhirnya ya bener yang dibilang simone de behavior kalau perempuan ini juga the second sex. Kita akhirnya jadi budak dan pelayan aja untuk si suami. Dibayar? Oh jelas syurga bayarannya.

“saya tahu bahwa posisi saya diciptakan oleh seorang laki-laki. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas dari pada menjadi seorang istri yang diperbudak” –Firdaus, perempuan dititik nol-

Salah satu kutipan firdaus, tokoh dalam novel perempuan dititik nol. Jangan dulu misuh-misuh coba cermati dengan baik, ada benarnya juga itu yang firdaus bilang. (siap dihujat liberal)
Belum lagi data dilapangan yang memperlihatkan bentuk KDRT yang tinggi juga salah satunya kekerasan ekonomi. Saya sedang tidak kampanye perempuan menikah untuk bekerja loh bukan itu point nya. Tapi perempuan yang cuma manut-manut, yang tidak punya kompetensi, yang hanya menghamba pada suami, itu rawan sekali jadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Iya dong, logikanya budaya patriarki ini loh, tanpa didukung kekuatan ekonomi saja, laki-laki sudah sangat superior, coba ditambah kekuatan ekonomi dan ketidakmampuan dia untuk memanusiakan manusia. Bisa bayangkan? Coba cek data catahu komnas perempuan untuk tahu detail datanya.

Saya juga tidak bilang semua laki-laki kaya itu patriarki loh. Tapi saya sedang bahas fenomena yang sering terjadi belakangan ini.

Alasan lain untuk nikah muda yang cukup ramai yaitu “menghindari zina”. Hehehe ngana pikir nikah itu cuma urusan ngangkang doang? Kompleksitas pernikahan yang rumit bagi gue gak bisa disederhanakan karena untuk menghindari zina. Gak sesederhana itu lah.

Lama—lama kampanye nikah muda ini hanya terus bergumul pada seputrar ketakutan dan ketidak mandirian secara ekonomi. Intinya kalau gitu, nikah muda ini diperuntukan bagi mereka yang takutan, sangean, malas, gak mau usaha, gak punya mimpi, intinya manusia yang wis hidup ougah, mati tak mau. Apa ini gak penghinaan banget coba?

Sekali lagi ya sahabat sekalian, gue sama sekali gak masalah sama mereka yang nikah muda. Selama pilihan menikah adalah atas pilihan sadar.
Tapi yang bikin gue geram ya soal cara mereka yang kampanye nikah muda ini loh. Menjadikan perempuan terus diobjektifikasi, dicitrakan lemah dan malas. Ini benar-benar menghina akal sehat dan mengabaikan kompetensi yang dimiliki perempuan lain diluar sana. Sekian !

Tentukan Sendiri Definisi Cantikmu

  Mereka bilang kamu cantik; “andai badanmu lebih langsing lagi, lemak di perutmu masih menggelambir, kamu wajib diet, potong jatah makanmu,...